Amazon Books

Senin, 24 Desember 2012

Pemahaman Tasauf Menurut Kajian (orang) Barat


TEORI-TEORI TENTANG SUFISME

Anggaplah bahwa ada seorang murid (imajiner) yang belum lama mendengar Sufisme dan tidak memiliki latar belakang gagasan tentang Sufi. Maka ia memiliki tiga kemungkinan pilihan dalam memperoleh sumber materi tentang Sufisme. Pertama, mungkin menjadikan buku sebagai referensi dan karya yang ditulis oleh orang yang telah menjadikan subyek tersebut sebagai bidang spesialisasi mereka. Kedua, mungkin melalui organisasi yang mengaku mengajar atau menjalankan Sufisme, atau menggunakan terminologi Sufisme. Ketiga, bisa jadi dari individu-individu atau kelompok orang, tidak selalu di negara-negara Timur Tengah, yang dianggap sebagai seorang atau kaum Sufi. Ia mungkin belum terbujuk untuk mempercayai bahwa Sufisme merupakan label 'Mistikisme para pengikut Muhammad', atau 'cara pemujaan kaum darwis'.
Apa yang dapat dipelajari orang ini, dan apa permasalahan-permasalahannya?
Satu di antara hal-hal penting yang dapat ia temukan adalah, bahwa kata 'Sufisme' merupakan sesuatu yang sangat baru, ditemukan oleh seorang Jerman tahun 1821.1
Tidak dikenalnya kata Sufi dalam bahasa-bahasa Barat, akan menjadikan sangat mungkin mengenalnya segera setelah melihat. Sebagai pengganti Sufisme, murid kita mungkin harus berhubungan dengan istilah-istilah seperti 'Qadiriyah', nama sebuah tarekat yang disesuaikan dengan nama pendirinya (wafat 1166). Atau mungkin ia akan menemukan referensi-referensi 'Orang-orang Suci', 'Para Guru', atau barangkali 'Orang yang Dekat (dengan Allah)'. Kemungkinan lain adalah istilah Arab Mutashawwif: 'Ia yang berusaha keras menjadi Sufi'. Di sana terdapat organisasi-organisasi yang disebut 'Para Pembangun', 'Orang-orang Tercela', yang dalam konstitusi dan kadang bahkan simbolisme minornya sangat mirip dengan cara-cara pemujaan dan lembaga-lembaga di Barat, seperti Freemasonry.2
Di telinga Barat kontemporer, nama-nama ini bisa terdengar aneh dan tidak selalu secara tepat. Kenyataan ini sendiri merupakan problem riil psikologikal, kendati terselubung.
Karena tidak adanya suatu standar untuk Sufisme, peneliti boleh jadi kembali ke kata Sufi itu sendiri, dan menemukan bahwa kata itu sudah umum dipakai sekitar seribuan tahun yang lalu,3 baik di Timur Dekat maupun Eropa Barat;4 dan kata itu tetap digunakan secara umum, untuk menggambarkan terutama hasil terbaik dari gagasan-gagasan dan praktek-praktek tertentu, sama sekali tidak terbatas dengan apa yang secara konvensional dinamakan 'religius'. Ia akan menemukan banyak definisi untuk kata tersebut, tetapi masalahnya sekarang terbalik, sebagai gantinya muncul pertentangan bukan sekadar tidak adanya abad keemasan (Sufi) semata, ia pun memperoleh begitu banyak deskripsi tentang Sufi, barangkali sebanyak yang tidak diketahuinya sama sekali.
Menurut beberapa penulis, dan mereka dalam jumlah yang besar, Sufi dapat dilacak pada kata Arab, dilafalkan shuuf, yang secara harfiah berarti wool, menunjuk pada bahan yang digunakan untuk jubah sederhana para mistikus Muslim awal.5 Lebih jauh dinyatakan, pembuatan wool ini merupakan peniruan pakaian orang-orang Kristen yang banyak tinggal di daerah padang pasir Syria dan Mesir, serta di tempat lain di Timur Dekat dan Timur Tengah.
Tetapi definisi ini --mungkin saja muncul penalaran yang masuk akal-- tidak akan memecahkan persoalan kita tentang nama dan lebih-lebih mengenai gagasan yang terkandang dalam Sufisme. Bagaimanapun, sama pentingnya para penyusun kamus lain menekankan bahwa wool adalah jubah (pakaian) 'binatang'6 dan menegaskan kalau sasaran Sufi adalah menuju pada kesempurnaan atau kelengkapan pemikiran manusia, bukan sebagai persaingan terhadap sesama; dan bahwa kaum Sufi, dengan kesadaran yang sangat tinggi terhadap simbolisme, tidak akan mengadopsi nama seperti itu. Lebih lanjut, adalah suatu fakta yang janggal kalau 'Majelis Sahabat'7 (Ashhab ash-Shafa) secara tradisional dianggap sebagai kaum Sufi di masa Nabi Muhammad saw. (wafat 632). Dikatakan, bahwa mereka telah membentuk diri sendiri ke dalam suatu kelompok esoteris pada tahun 623, dan nama mereka diambil dari kalimat Ashhab ash-Shafa. Kendati beberapa ahli tata bahasa menunjukkan kalau kata wool secara etimologis lebih sesuai --dan lebih mungkin daripada, katakanlah, derivasi dari kata shafwa ('kesalehan'), atau pun shaff (singkatan dari kalimat 'Urutan Pertama orang Terpilih')-- lainnya menentang opini tersebut atas dasar, bahwa nama sebutan tidak harus tunduk pada aturan ortografi (sistem ejaan).
Saat ini nama sama pentingnya dengan suatu pengenalan gagasan, seperti yang akan kita lihat sebentar lagi. Sementara itu, mari kita melihat pada hal-hal yang berkaitan dengannya. Kaum Sufi menyatakan, bahwa suatu jenis dari jiwa dan aktikitas-aktikitas tertentu dapat menghasilkan --di bawah kondisi dan upaya tertentu (khusus)-- apa yang diistilahkan dengan kerja yang lebih tinggi dari pemikiran, membawa kepada persepsi-persepsi khusus yang peralatannya tidak tampak (tersembunyi) bagi orang awam. Oleh karena itu, Sufisme melebihi batasan-batasan orang awam tersebut.8 Tidak mengherankan, jika kata Sufi telah dihubungkan dengan kata Yunani untuk hikmah Ilahiah (sofia) dan juga dengan istilah dalam bahasa Yahudi Cabbalis untuk Ain Sof ('ketakterhinggaan'). Hal itu tidak akan mengurangi problem murid pada tahap belajar ini, sebagaimana dikatakan semua penulis Jewish Encyclopaedia, bahwa para ahli bahasa Yahudi menganggap Cabbala dan Hasidim, mistikus Yahudi, sebagai awal Sufisme atau suatu tradisi yang identik dengan itu.9 Tidak ada yang memaksanya untuk mendengar hal itu, kendati kaum Sufi sendiri menyatakan bahwa pengetahuan mereka sudah ada selama ribuan tahun, mereka menolak bahwa hal itu merupakan turunan (derivative), menegaskan bahwa hal itu adalah setara dengan aliran-aliran Hermetis, Pythagoras dan Platonis.10
Murid kita hingga sekarang barangkali benar-benar bingung; tetapi ia sudah mempunyai pandangan sekilas tentang persoalan-persoalan dalam mengkaji gagasan-gagasan Sufi, sekalipun hanya karena dia dapat memberikan kesaksian untuk diri sendiri, perjuangan yang tidak produktif dari para skolastik.
Sebuah tempat berlindung yang memungkinkan, akan ditemukan jika kita dapat menerima penegasan seorang ahli --seperti Profesor R. A. Nicholson-- atau jika bertanya kepada kaum Sufi.
Nicholson mengatakan: "Sebagian sarjana Eropa telah mengidentifikasi hal itu dengan Sophos dalam pengertian penganut teosofia.11 Tetapi Noldeke … secara konklusif menunjukkan bahwa nama tersebut diambil dari shuf (wool) dan awalnya digunakan oleh orang-orang Muslim zuhud (asketis) yang, dalam meniru para pendeta Kristen, mengenakan jubah wool kasar sebagai tanda penyesalan dan penolakan terhadap nafsu duniawi."12
Opini karakteristik ini, jika tidak berisiko, telah dipublikasikan pada tahun 1914. Empat tahun sebelumnya, Nicholson sendiri telah menawarkan terjemahannya, Revelation, abad kesebelas, laporan orang-orang Persia paling awal yang tersedia mengenai Sufisme, dan salah satu di antara naskah-naskah Sufi paling otoritatif. Pada halaman-halaman tersebut, penulis, Hujwiri yang agung, secara spesifik menyebutkan --dan ini diterjemahkan dengan jelas tetapi diabaikan Nicholson-- bahwa Sufi tidak memiliki etimologi.13
Nicholson menunjukkan tidak ada yang aneh mengenai klaim tersebut, tetapi pemikiran tentang hal tersebut dapat menuntunnya pada suatu gagasan penting dalam Sufisme. Baginya, sangat jelas, sebuah kata harus memiliki etimologi. Tanpa disadari mengasumsikan bahwa 'tanpa etimologi' pastilah absurd, ia tidak melihat lebih jauh pada arah tersebut, tetapi tanpa ragu-ragu, terus mencari suatu derivasi etimologis. Seperti Noldeke dan banyak lainnya, suatu pemikiran serupa akan lebih menyukai kata wool pada paradoks yang tidak asli (palsu) 'tidak memiliki etimologi'.
Inilah alasan yang pasti, mengapa dalam buku terbarunya tentang Sufisme, Pastur Cyprian Rice (pengagum dan murid Nicholson) mengatakan, setengah abad setelah publikasi naskah Hujwiri dalam bahasa Inggris (versi yang ia puji):
"… dari kebiasaan mereka mengenakan busana wool (shuf) kasar, (mereka) dikenal sebagai kaum Sufi."14
Tetapi perkenalan dengan kaum Sufi, apalagi di hampir setiap tingkat mana saja dari akses pada kebiasaan-kebiasaan praktis dan tradisi lisan mereka, telah dapat dengan mudah memecahkan kontradiksi tidak murni, antara eksistensi sebuah kata dan ketiadaan derivasi etimologis. Jawabannya adalah, kaum Sufi menganggap bunyi dari huruf-huruf S,U,F (dalam huruf Arab Shad, Waw, Fa) dengan cara penggunaan yang sama, memiliki pengaruh signifikan pada mentalitas manusia.
Oleh karena itu, kaum Sufi adalah 'Orang-orang SSSUUUFFF.
Setelah menyelesaikan teka-teki permainan kata-kata tersebut (secara insidental mengilustrasikan kesulitan untuk mendapatkan pegangan dengan gagasan-gagasan Sufi, apabila seseorang hanya berpikir pada garis pemikiran tertentu), kita segera melihat suatu problem yang baru dan karakteristik muncul menggantikannya. Pemikir kontemporer mungkin sekali tertarik dengan penjelasan ini --gagasan bahwa suara atau bunyi mempengaruhi otak-- hanya dalam batasan-batasan yang ditentukannya sendiri. Ia mungkin menerimana sebagai kemungkinan teoritis, sejauh yang diungkapkan kepadanya dalam istilah yang dianggap dapat diterima di era komunikasi ini.15
Jika kita mengatakan, "Suara berpengaruh terhadap manusia, memungkinkannya sesuatu yang lain menjadi setara baginya untuk memiliki pengalaman di luar kewajaran," ia secara persuasif mungkin bersikeras, bahwa "Ini merupakan okultisme (kegaiban) semata, omong kosong primitif dari aliran Om-Mani-Padme-Hum, Abrakadabra dan sebagainya." Tetapi (mengingat penjelasan itu tidak obyektif, melainkan semata-mata aspek umum sebagai pemikiran yang bisa diterima), kita dapat menjawabnya, "Otak manusia, sebagaimana anda tahu pasti, mungkin bisa disamakan dengan sebuah komputer. Tanggapan atau reaksinya terhadap pengaruh yang kuat atas vibrasi dari penglihatan, suara (bunyi), sentuhan dan sebagainya, sudah ditentukan sebelumnya atau 'diprogram'. Begitu pula kira-kira terhadap suara yang dihasilkan dari lafal S,U,F, menimbulkan reaksi pada otak yang mungkin sudah terprogram." Ia mungkin dapat menerima dengan baik atas penyederhanaan yang kurang bagus ini dalam pola pikirnya yang sudah ada.
Kondisi yang ada di hadapan kita (vis-a-vis) ini, problem khusus di dalam mempelajari gagasan Sufi, adalah bahwa begitu banyak orang yang ingin mempelajarinya tetapi sesungguhnya enggan (tidak berkemauan penuh), karena komitmen psikologikal yang sistematis, untuk memperbolehkan perdebatan tertentu tentang Sufisme, tetap dipertahankan oleh kaum Sufi, tertanam di dalam beriak. Situasi ini, yang ada atau munculnya ditunjukkan oleh banyak pengalaman pribadi, jauh lebih tersebar daripada perumpamaan tunggal yang memberi kesan kuat ini.

Persoalan bagi kedua kubu tersebut, tidak dipermudah oleh kecenderungan umum secara individual, yang ditujukan dalam upaya menghadapi gagasan-gagasan Sufi melalui penolakan yang tegas. Suatu jawaban yang berlaku umum seperti ini, "Berpikir dengan sudut pandang seperti yang anda anjurkan, akan mengoyak pola pikir saya yang sudah mapan (selama ini)." Individu seperti ini benar-benar salah dalam meyakini hal tersebut; bagi Sufi ia adalah orang yang menilai atau menganggap rendah kapasitas yang dimilikinya sendiri. Reaksi lainnya adalah mencoba merasionalisasi atau menginterpretasi kembali gagasan-gagasan yang diajukan kepadanya, dalam sudut pandang tertentu (antropologi, sosiologi, sofistik, psikologi) dimana ia lebih banyak menemukan seleranya. Dalam perumpamaan kita, kondisi subyektif tersebut mungkin dapat dijelaskan seperti berikut, "Oh ya, teori pengaruh dari suara (bunyi) ini jelas sekali dihasilkan untuk lebih memberikan suatu kerumitan (pemutarbalikan) esoteris pada derivasi yang lebih bersifat duniawi tentang wool."

Tetapi model pemikiran seperti ini tidak akan berhasil dalam skala luas, karena jauh sebelum ditemukan di antara suku-suku primitif atau terkubur di dalam buku-buku berbahasa mati, gagasan Sufi dalam tingkatan yang bervariasi terkandang dalam latar belakang dan kajian-kajian lebih dari limapuluh juta orang saat ini: dalam bentuk atau cara apa pun mereka berhubungan dengan Sufisme.

Minggu, 10 Juni 2012

Muhasabah


There are times in life when we are moving forward fulfilling our vision, and then there are other times when we take an account of where we are. We reach a certain point when we must assess what we have accomplished, what we have learned, and what are the results of a particular period of time.
One of the most important practices on the Sufi Path is “muhasabah,” which we can translate as retrospection, assessment, accounting, or reckoning. When you finish a meal in a restaurant in Turkey,for instance, you get the “hisab,” or what we call in English the bill. The tri-literal root of the word (hsb) has to do with accounting. Muhasabah, of course, is more than paying the bill, but that is part of it.
Whether you make known what is in your souls or hide it,
God will bring you to account for it
. [Qur’an 2: 284]

If we could see ourselves objectively we would be aware of how we have spent our lives, what debts (or karma) we have created, and what we need to do to “pay” for our actions and our lives. Actually, if we were wise, we would engage in this retrospection every day, assessing our actions, our emotions, and our thoughts.
Some people are by temperament or conditioning extremely self-critical, while others are not self-critical enough. A good psychologist might recommend that we observe our bodily sense, a sense of contraction that comes with this unhealthy blaming, and through that to acknowledge what needs to be acknowledged in order to move to that higher level of acceptance from which real change is possible.
Most of the time most human beings are seeing their lives through the criteria of the desires of the ego—in other words, in terms of what gives us pleasure, or fulfills our vanity and pride. The spiritual seeker, however, is living for something greater. A spiritual seeker measures with the heart, in the light of perfection contained within the heart, which we call Spirit, or Ruh. True Muhasabah is possible when we are in a state of presence, not lost in the labyrinth of self-blame. Muhasabah is seeing from a higher level of compassionate conscience not neurotic self-condemnation.
Now returning to the idea of assessment, there is the daily assessment, the yearly assessment, and longer cycles of time, and the final assessment that comes at the end of a life, an assessment we should never forget. Divine revelation reminds us of this ultimate assessment, which the ego may find rather inconvenient or disturbing.
What makes Muhasabah difficult is that our perception is caught in a web of “wahm,” or relative delusion. We are deluded by the many strategies of the ego, strategies that ignore the highest values that are not easy for the ego to believe in and depend on. The ego is continually calculating its own best advantage, while the Spirit calls us to act unselfishly, without thinking of ourselves too much. The call of Spirit is even likely to seem irrational. The self-sacrificing generosity of love does not make sense to the practical minded ego.
Muhasaba is difficult because the web of delusion that distorts our perception is not completely lacking a vision of goodness and beauty. Our everyday desires do have something to do with a deeper yearning even if these desires are colored in condition by lesser motives. Our desires are not necessarily evil, but shortsighted, trivial, incomplete. Their banality can only be glimpsed from the perspective of higher truths. Only then can their poignant insufficiency be revealed.

To follow the call of Spirit is to cooperate with the miraculous. The highest values have an element of the miraculous about them. When we can give ourselves over to complete trust, unqualified generosity, unconditional love, it seems as if something in nature conspires to support us.
It is true that the ego would like to appropriate the miraculous for itself—this is what many self-help programs attempt to do. But what is truly miraculous requires that the ego become nothing, and surrender to Truth, the Real, al Haqq.

If we engage sincerely in Muhasaba we are progressively dismantling the false self. We are becoming free of reaction and negativity. Every night we can look at our day and ask ourselves: Have I been patient? Have I been non-judgmental? Have I been just? Every day we replace selfishness with generosity, resentment with patience, self-importance with humility, partiality with impartiality, judgment with compassion, and so be liberated from the toxicities of the ego.

Muhasaba attracts the Divine Mercy and atones for our mistakes. The universe has a way of rushing to support the one who in all humility calls out for help; while the one who is self-satisfied, who justifies the lies of the false self, is erecting a huge barrier to Divine Mercy.

Yet it is not efficacious to become compulsive or neurotic about self-reckoning. Muhasaba can be a friendly coach, developing conscience in us by small, progressive steps. Self-observation can be a companion on the way, helping us to make our tomorrow better than our yesterday.

O you who keep the faith be conscious of God and observe your responsibility to him. And let every soul consider what it has prepared for tomorrow. [Qur’an 59:18]
(source: sufism.org)

2 Poems by Hussein Ibn Mansur Al Hallaj

The expressions of his intimate moments with the Beloved are like a powerful thunderstorm that sweeps the heart with terrifying power and yet brings serenity, life-giving water, freshness, and renewal to the heart, and occasionally a rainbow upon the horizon.”
A friend of my daughter, Nedda, wanted to meet me. He was a young seeker, very interested in the Sufi Path. I picked Justin up at the train station and we spent the afternoon together talking. He told me how he grew up in a non-religious family, “basically atheist,” he explained telling me that he never learned how to pray. Then he attended a talk by Andrew Harvey at Omega and what he heard lit the fire of longing in his heart to communicate with the Divine. “But I didn’t know how!” he told me. It was then that I was awestruck at God’s amazing ways.
The night before I met Justin I was unable to sleep. I got up and for some reason felt an urge to read from the Diwan of Hallaj. I opened up the book and came upon a selection that moved my heart in a very deep way and I felt I needed to translate it. Then I came upon another selection that was also very moving and I translated it. By 4:00 am I was done with the translations and after prayer I fell asleep.
Now as I sat listening to Justin it became clear to me what had happened last night. “Would you like to hear how one of the greatest of all Sufis spoke to God?” I asked him. “Oh, yes! I would love to,” Justin replied eagerly. So I got up with tears welling up in my eyes and flowing freely down my face, and went to get my laptop amazed at how Love works and awed and humbled by how we are placed in service by Divine Decree. I felt the presence of Sidi Al Hussein ibn Mansur smiling gently and nodding as if to say, “Now you see what love does!”
Hussein ibn Mansur was born in the second half of the 9th century in Persia. His father was a cotton carder and he learned the same skill, hence his nickname Al Hallaj. His family moved to Wasit in Iraq when he was a child. From his early teens he was drawn to learning and spirituality. He studied with some of the eminent Sufi teachers of his time such as Sahl Al Tustari and Amru ibn Uthman Al Makki.

In addition to being a spiritual seeker, Al Hallaj was also a devoted activist, publicly supporting the oppressed people of his society and siding openly with rebellions against the tyrannical rule of the Abbasid State at the time. These rebellions were deeply rooted to the martyrdom of Imam Hussein and this connected Al Hallaj to the profound mystical teachings of the Prophet and his descendents. Al Hallaj’s devotion to the spiritual path and his support for the weak and oppressed made him popular among the people of Basra where he lived at the time. The Abbasid State was gripped in the throes of highly threatening political rebellions and saw the loss of its western dominions to the newly-emerged Fatimid State in Egypt that basically split the Caliphate into two empires. Al Hallaj’s activism and growing popularity eventually made him an easy target for the wrath of the Abbasid authorities and eventually led to long imprisonment and eventual martyrdom.

Al Hallaj was fearless in his actions, unswerving in his commitment to truth, and welcoming of his own death, repeatedly asking people to kill him for his infidelity (few understood what he really meant, for they saw a pious devoted man dedicated to long acts of worship and spiritual work).
Underlying his fearsome courage was a beautiful tenderness that was forgiving, loving, and filled with wisdom. His deep spirituality was expressed in the most exquisitely poetic way that at the same time is filled with powerfully raw and naked power. His words were imbued with the perplexity that overwhelm a heart drowned in the ocean of love. He spoke in ways that shocked ordinary people but awakened and were understood and cherished by his fellow travelers.
The expressions of his intimate moments with the Beloved are like a powerful thunderstorm that sweeps the heart with terrifying power and yet brings serenity, life-giving water, freshness, and renewal to the heart, and occasionally a rainbow upon the horizon.
Al Hallaj often expressed his understanding of Oneness in paradoxical and beautifully poetic ways. For example he was once asked about the path to God and he replied, “A path is between two points but there is nothing beside God!” He was asked to clarify and he replied with a poem:
Is this you or is it I in two deities?
Far be it from you, far be it from confirming duality
Forever there is Hu-ness for you in my La-ness
Over all, my pain is the confusion of two faces
Where is your essence from me where I used to see?
For my essence now appears where there is no “where”
And where is your face sought with my sight?
Is it in the inner heart or in the eye’s seeing?
Between you and me is an I-ness interfering with me
            Take away then with your I-ness my I-ness from between us!

And here are the two selections that our Master, Al Hallaj, gifted to our young seeker, Justin, so that his heart may know…

Here I am at your command, here I am!
You are my secrecy and my intimacy
Here I am at your command, here I am!
You are my purpose and my meaning
I call you, but it is you who calls me to you
Did I call out to you or did you call out to me?
You are the essence of the source of my existence, you are the reach of my resolve
You who are my logic, and my expressions, and my gestures
You are all of me entirely, you are my hearing and my seeing
You are my whole, and some of me, and my parts
You are all of me entirely, and all of it is entirely obscured
And all of you entirely are covered in my meaning
My soul clings to you with intense love until it is spent in ecstasy
And I become a hostage to my longing
I cry over my sorrow, over separation voluntarily from my homeland
And my adversaries please me with my own wailing
I approach but my fear sets me back, and I am anxious from a longing
That takes hold of my deeply hidden insides
What shall I do about an expansiveness that I am in such love with?
My Friend! My healers have despaired of my affliction
They say: take your cure of him from him.
And I say to them: O people, is the affliction cured by the affliction?
My love for my Friend pains me and afflicts me
How then shall I complain to my Friend of my Friend?
I gaze upon him and my heart knows him
Nothing can be explained of him except my gestures
O woe to my soul from this soul of mine,
O such sorrow in me over me for I am the source of my trials
I am like one who is drowned and his hand is seen raised up for help
While he is in an ocean of water
No one knows what I have seen
Except what shows in me of my grief
And that one who knows what I’ve seen of such intense love
In his will is my death and my life!
You are the purpose of my seeking! You are what I hoped for! You are my stillness!
You are the life of my soul! You are my faith and my world!
Tell me, upon my life, you who are my hearing and my seeing,
Why this going back and forth in my farness and exile?
If you are veiled from my eye in the unseen
            This heart still keeps you in farness and in nearness.

I saw my Rabb with the eye of my heart
I said: who are you? He said: You
“Where” with you has nowhere
And there is nowhere where you are
Illusion with you has no illusion
Can illusion know where you are?
You are the one who gathers every “where”
To nowhere, so where are you?
In my annihilation my annihilation perished
And in my annihilation I found you
In the effacement of my name and the outline of my form
I asked about me so I said: You.
My inmost secret pointed to you
Until I was annihilated to myself, and you remained
You are my life and my heart’s secret
Wherever I may be, you are.
You encompass everything with knowledge
All that I see is you
So grant forgiveness my God
            For there is nothing I wish for other than you

 


Jumat, 27 April 2012

Tarekat Qodiriyah

Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi QS. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, "Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah,dal lain-lain. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah. Sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat Bakka'iyah, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani berkembang pesat di seluruh Indonesia.
Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani ini berasal dari Banten dan merupakan ulama Indonesia pertama yang menjadi Imam Masjidil Haram. Selanjutnya jalur salsilahnya berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu atau lazim dikenal sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Terus berlanjut ke Syaikh Nur Annaum Suryadipraja bin Haji Agus Tajudin yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya garis salsilah ini saat ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin.
Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah juga khirkoh dari tarekat Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh Jalaludin. Ia sampai dengan hari ini meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan kholaqoh dzikirnya yang bertempat di Bogor Baru kotamadya Bogor propinsi Jawa Barat. Rekaman suara tausiahnya pada setiap pelaksanaan kholaqoh dzikirnya dapat didengarkan melalui http://www.syaechudiniyah-bogor.com/

Syekh Abdul Qadir Jaelani
Sayyidul Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di Jailan Iran, selatan Laut Kaspia pada 470 H/1077 M sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani.

Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimi. Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.

Silsilah Syekh Abdul Qadir Jaelani
Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a sebagi berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu"[1]. Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut : Dari Ayahnya(Hasani)[1]:
Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam
Dari ibunya(Husaini)[1] : Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam

Karomah Syekh Abdul Qadir Jaelani
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri' Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).
"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."
Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja'far al Adfwi (nama lengkapnya Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi'i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.). 

Tentang Syekh Abdul Qadir di Mata Para Ulama
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam salat fardhu."
(referensi: wikipedia)

Lihat pula:
 

 
 
 
 

Senin, 09 April 2012

Mengenal Tarekat Naqsyabandiyah

Riwayat Tarekat/Tariqah:

Tariqat atau Tariqah merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf yang mana dengannya seseorang itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan menggantikannya dengan sifat-sifat Akhlaq yang terpuji. Ia juga merupakan Batin bagi Syari’at yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakikat amalan-amalan Salih di dalam Agama Islam.

Ilmu Tariqat juga merupakan suatu jalan yang khusus untuk menuju Ma’rifat dan Haqiqat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia termasuk dalam Ilmu Mukasyafah dan merupakan Ilmu Batin, Ilmu Keruhanian dan Ilmu Mengenal Diri. Ilmu Keruhanian ini adalah bersumber dari Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diwahyukan kepada Hadhrat Jibrail ‘Alaihissalam dan diwahyukan kepada sekelian Nabi dan Rasul khususnya Para Ulul ‘Azmi dan yang paling khusus dan sempurna adalah kepada Hadhrat Baginda Nabi Besar, Penghulu Sekelian Makhluk, Pemimpin dan Penutup Sekelian Nabi dan Rasul, Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Alihi Wa Ashabihi Wasallam. Kemudian ilmu ini dikurniakan secara khusus oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada dua orang Sahabatnya yang unggul iaitu Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma. Melalui mereka berdualah berkembangnya sekelian Silsilah Tariqat yang muktabar di atas muka bumi sehingga ke hari ini. Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengurniakan Ilmu Keruhanian yang khas kepada Hadhrat Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhu.

Di zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang Tabi’in yang bernama Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu juga telah menerima limpahan Ilmu Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam meskipun dia berada dalam jarak yang jauh dan tidak pernah sampai ke Makkah dan Madinah bertemu Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, sedangkan beliau hidup pada suatu zaman yang sama dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Pada tahun 657 Masihi Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu Wa Rahmatullah ‘Alaih telah membangunkan suatu jalan Tariqat yang mencapai ketinggian yang terkenal dengan Nisbat Uwaisiyah yang mana seseorang itu boleh menerima limpahan Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sekelian Para Masyaikh Akabirin meskipun pada jarak dan masa yang jauh.
Di dalam kitab ‘Awariful Ma’arif ada dinyatakan bahawa di zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma telah menghidupkan perhimpunan jemaah-jemaah dimana upacara Bai’ah dilakukan dan majlis-majlis zikir pun turut diadakan.
Tariqat menurut pengertian bahasa bererti jalan, aliran, cara, garis, kedudukan tokoh terkemuka, keyakinan, mazhab, sistem kepercayaan dan agama. Berasaskan tiga huruf iaitu huruf Ta, Ra dan Qaf. Ada Masyaikh yang menyatakan bahawa huruf Ta bererti Taubat, Ra bererti Redha dan Qaf bererti Qana’ah. Lafaz jamak bagi Tariqat ialah Taraiq atau Turuq yang bererti tenunan dari bulu yang berukuran 4 hingga 8 hasta dan dipertautkan sehelai demi sehelai. Tariqat juga bererti garisan pada sesuatu seperti garis-garis yang terdapat pada telur dan menurut Al-Laits Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ialah tiap garis di atas tanah, atau pada jenis-jenis pakaian.

Ijasah Syeikh dalam silsilah tasawuf:
Dalam tasawuf, seperti dalam setiap disiplin Islam yang serius seperti fiqh, tajwid, dan hadis, seorang murid harus memiliki master atau 'syekh' dari siapa mengambil pengetahuan, orang yang dirinya telah diambil dari master, dan begitu pada, dalam rantai master terus kembali kepada Nabi (sallallahu `alaihi wa sallam) yang adalah sumber segala pengetahuan Islam. Dalam tradisi Sufi, ini berarti tidak hanya bahwa Syekh ini telah bertemu dan mengambil tarekat dari master, tetapi bahwa guru selama hidupnya telah secara eksplisit dan diverifikasi diinvestasikan murid - baik secara tertulis atau di depan sejumlah saksi - untuk mengajarkan jalan spiritual sebagai master berwenang (murshid ma'dhun) untuk generasi murid penerus.

Silsilah tersebut transmisi dari garis lurus dari master adalah salah satu kriteria yang membedakan jalan sufi yang benar 'berhubungan' (tarekat muttasila), dari jalan 'diputus' tidak otentik atau, (tarekat munqati'a). Pemimpin jalan yang diputus bisa mengklaim sebagai syekh berdasarkan izin yang diberikan oleh Syeikh dalam keadaan diverifikasi pribadi atau lainnya, atau oleh seorang tokoh yang telah meningal dunia ini, seperti salah satu dari orang soleh atau Nabi sendiri (sallallahu `alaihi wa sallam), atau dalam mimpi, dan sebagainya. Praktek ini hanya "menghangatkan hati" (biha yusta'nasu) tetapi tidak memenuhi kondisi tasawuf yang seorang Syekh harus memiliki otorisasi ijazah yang jelas menghubungkan dia dengan Nabi (sallallahu `alaihi wa sallam), salah satu yang bisa diverifikasi oleh orang lain daripada dirinya sendiri. Banyak kebohongan diberitahu oleh orang-orang, dan tanpa otorisasi atau ijazah yang bisa diverifikasi oleh publik, tarekat akan dikompromikan oleh mereka.

Tariqat Naqshbandiyah/Naqsyabandiyah 
Merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Dagestan, Russia.
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani ("Pembaru Milenium kedua"). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari[rujukan?], serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).[rujukan?]

Kata Naqsyabandiyah/Naqsyabandi/Naqshbandi نقشبندی berasal dari Bahasa Arab iaitu Murakab Bina-i dua kalimah Naqsh dan Band yang bererti suatu ukiran yang terpateri, atau mungkin juga dari Bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya yaitu Baha-ud-Din Naqshband Bukhari. Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai "pembuat gambar", "pembuat hiasan". Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai "Jalan Rantai", atau "Rantai Emas". Perlu dicatat pula bahwa dalam Tarekat Naqsyabandiyah, silsilah spiritualnya kepada Nabi Muhammad adalah melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, sementara kebanyakan tarekat-tarekat lain silsilahnya melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Ali bin Abu Thalib Karramallahu Wajhahu.

'idhznya Yang Berke'== PENDIRI TARIQAT NAQSHBANDIYAH == BELIAU adalah Imam Tariqat Hadhrat Khwajah Khwajahgan Sayyid Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi Rahmatullah ‘alaih, dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717 Hijrah bersamaan 1317 Masihi iaitu pada abad ke 8 Hijrah bersamaan dengan abad ke 14 Masihi di sebuah perkampungan bernama Qasrul ‘Arifan berdekatan Bukhara. Ia menerima pendidikan awal Tariqat secara Zahir dari gurunya Hadhrat Sayyid Muhammad Baba As-Sammasi Rahmatullah ‘alaih dan seterusnya menerima rahsia-rahsia Tariqat dan Khilafat dari Syeikhnya, Hadhrat Sayyid Amir Kullal Rahmatullah ‘alaih. Ia menerima limpahan Faidhz dari Hadhrat Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menerusi Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang telah 200 tahun mendahuluinya secara Uwaisiyah.
Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata: Pada suatu hari aku dan sahabatku sedang bermuraqabah, lalu pintu langit terbuka dan gambaran Musyahadah hadir kepadaku lalu aku mendengar satu suara berkata, “Tidakkah cukup bagimu untuk meninggalkan mereka yang lain dan hadir ke Hadhrat Kami secara berseorangan?”
Suara itu menakutkan daku hingga menyebabkan daku lari keluar dari rumah. Daku berlari ke sebuah sungai dan terjun ke dalamnya. Daku membasuh pakaianku lalu mendirikan Solat dua raka’at dalam keadaan yang tidak pernah daku alami, dengan merasakan seolah-olah daku sedang bersalat dalam kehadiranNya. Segala-galanya terbuka dalam hatiku secara Kashaf. Seluruh alam lenyap dan daku tidak menyedari sesuatu yang lain melainkan bersalat dalam kehadiranNya.
Aku telah ditanya pada permulaan penarikan tersebut, “Mengapa kau ingin memasuki jalan ini?”
Aku menjawab, “Supaya apa sahaja yang aku katakan dan kehendaki akan terjadi.”
Aku dijawab, “Itu tidak akan berlaku. Apa sahaja yang Kami katakan dan apa sahaja yang Kami kehendaki itulah yang akan terjadi.”
Dan aku pun berkata, “Aku tidak dapat menerimanya, aku mesti diizinkan untuk mengatakan dan melakukan apa sahaja yang aku kehendaki, ataupun aku tidak mahu jalan ini.”
Lalu daku menerima jawapan, “Tidak! Apa sahaja yang Kami mahu ianya diperkatakan dan apa sahaja yang Kami mahu ianya dilakukan itulah yang mesti dikatakan dan dilakukan.”
Dan daku sekali lagi berkata, “Apa sahaja yang ku katakan dan apa sahaja yang ku lakukan adalah apa yang mesti berlaku.”
Lalu daku ditinggalkan keseorangan selama lima belas hari sehingga daku mengalami kesedihan dan tekanan yang hebat, kemudian daku mendengar satu suara, “Wahai Bahauddin, apa sahaja yang kau mahukan, Kami akan berikan.”
Daku amat gembira lalu berkata, “Aku mahu diberikan suatu jalan Tariqat yang akan menerajui sesiapa jua yang menempuhnya terus ke Hadhrat Yang Maha Suci.” Dan daku telah mengalami Musyahadah yang hebat dan mendengar suara berkata, “Dikau telah diberikan apa yang telah dikau minta.”
Beliau telah menerima limpahan Keruhanian dan prinsip dasar Tariqat Naqshbandiyah dari Hadhrat Khwajah ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang terdiri dari lapan perkara iaitu:
Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan, Khalwat Dar Anjuman. Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga lagi prinsip menjadikannya sebelas yaitu:

Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Jalan Tariqat kami adalah sangat luarbiasa dan merupakan ‘Urwatil Wutsqa (Pegangan Kukuh), dengan berpegang teguh secara sempurna dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Mereka telah membawa daku ke jalan ini dengan Kekurniaan. Dari awal hingga ke akhir daku hanya menyaksikan Kekurniaan Allah bukan kerana amalan. Menerusi jalan Tariqat kami, dengan amal yang sedikit, pintu-pintu Rahmat akan terbuka dengan menuruti jejak langkah Sunnah Baginda Rasulullah Sallahllu ‘Alaihi Wasallam.”
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih mempunyai dua orang Khalifah besar iaitu Hadhrat Khwajah ‘Alauddin ‘Attar Rahmatullah ‘alaih dan Hadhrat Khwajah Muhammad Parsa Rahmatullah ‘alaih, pengarang kitab Risalah Qudsiyyah.

Dia adalah ibarat lautan ilmu yang tak bertepi dan dianugerahkan dengan mutiara-mutiara hikmah dari Ilmu Laduni. Dia menyucikan hati-hati manusia dengan lautan amal kebaikan. Dia menghilangkan haus sekelian Ruh dengan air dari pancuran Ruhaniahnya. Dia amat dikenali oleh sekelian penduduk di langit dan di bumi. Dia ibarat bintang yang bergemerlapan yang dihiasi dengan mahkota petunjuk. Dia mensucikan Ruh-Ruh manusia tanpa pengecualian menerusi napasnya yang suci. Dia memikul cahaya Kenabian dan pemelihara Syari’at Muhammadiyah serta rahsia-rahsia MUHAMMADUR RASULULLAH.

Cahaya petunjuknya menerangi segala kegelapan kejahilan Raja-raja dan orang awam sehingga mereka pun datang berdiri di pintu rumahnya. Cahaya petunjuknya juga meliputi seluruh Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Dia adalah Ghauts, Sultanul Auliya dan rantai bagi sekelian permata Ruhani. Semoga Allah Merahmatinya Dan Mengurniakan Limpahan Fakalan Kepada Kita. Amin.

Khususon Tariqat Naqsyabandiyah
HADHRAT  Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih yang merupakan salah seorang dari Para Masyaikh Akabirin Naqshbandiyah telah berkata di dalam surat-suratnya yang terhimpun di dalam Maktubat Imam Rabbani, “Ketahuilah bahawa Tariqat yang paling Aqrab dan Asbaq dan Aufaq dan Autsaq dan Aslam dan Ahkam dan Asdaq dan Aula dan A’la dan Ajal dan Arfa’ dan Akmal dan Ajmal adalah Tariqah ‘Aliyah Naqshbandiyah, semoga Allah Ta’ala mensucikan roh-roh ahlinya dan mensucikan rahsia-rahsia Para Masyaikhnya. Mereka mencapai darjat yang tinggi dengan berpegang dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan menjauhkan dari perkara Bida’ah serta menempuh jalan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Mereka berjaya mencapai kehadiran limpahan Allah secara berterusan dan syuhud serta mencapai maqam kesempurnaan dan mendahului mereka yang lain.”
Adapun Hadhrat Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Rahmatullah ‘alaih telah menerangkan kelebihan dan keunggulan Tariqah Naqshbandiyah dengan beberapa lafaz yang ringkas dan padat adalah menerusi pengalaman keruhaniannya. Ia merupakan seorang pembaharu agama (Mujaddid/Reformer) pada abad ke 11 Hijrah. Sebelum beliau menerima Silsilah Naqshbandiyah beliau telah menempuh beberapa jalan Tariqat seperti Chishtiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah dan beberapa Tariqat yang lain dengan cemerlang serta memperolehi Khilafah dan Sanad Ijazah. Ia telah menerima Tariqat Silsilah ‘Aliyah Khwajahganiyah Naqshbandiyah dari gurunya Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.
Beliau telah berpendapat bahawa dari kesemua jalan Tariqat, yang paling mudah dan paling berfaedah adalah Tariqat Naqshbandiyah dan telah memilihnya serta telah menunjukkan jalan ini kepada para penuntut kebenaran.
“Allahumma Ajzahu ‘Anna Jaza An Hasanan Kafiyan Muwaffiyan Li Faidhanihil Faidhi Fil Afaq”
Terjemahan: “Wahai Allah, kurniakanlah kepada kami kurnia yang baik, cukup lagi mencukupkan dengan limpahan faidhznya yang tersebar di Alam Maya.”
Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih telah bersujud selama lima belas hari di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan penuh hina dan rendah diri, berdoa memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ditemukan dengan jalan Tariqat yang mudah dan senang bagi seseorang hamba bagi mencapai Zat Maha Esa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkabulkan doanya dan menganugerahkan Tariqat yang khas ini yang masyhur dengan nisbat Naqshband atau digelar Naqshbandiyah.
Naqsh bererti lukisan, ukiran, peta atau tanda dan Band pula bererti terpahat, terlekat, tertampal atau terpateri. Naqshband pada maknanya bererti “Ukiran yang terpahat” dan maksudnya adalah mengukirkan kalimah Allah Subhanahu Wa Ta’ala di hati sanubari sehingga ianya benar-benar terpahat di dalam pandangan mata hati yakni pandangan Basirah. Adalah dikatakan bahawa Hadhrat Shah Naqshband tekun mengukirkan Kalimah Allah di dalam hatinya sehingga ukiran kalimah tersebut telah terpahat di hatinya. Amalan zikir seumpama ini masih diamalkan dalam sebilangan besar Tariqat Naqshbandiyah iaitu dengan menggambarkan Kalimah Allah dituliskan pada hati sanubari dengan tinta emas atau perak dan membayangkan hati itu sedang menyebut Allah Allah sehingga lafaz Allah itu benar-benar terpahat di lubuk hati.

Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah ini dinisbatkan kepada Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu yang mana telah disepakati oleh sekalian ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai sebaik-baik manusia sesudah Para Nabi ‘Alaihimus Solatu Wassalam. Asas Tariqat ini adalah seikhlas hati menuruti Sunnah Nabawiyah dan menjauhkan diri dari segala jenis Bida’ah merupakan syarat yang lazim.
Tariqat ini mengutamakan Jazbah Suluk yang mana dengan berkat Tawajjuh seorang Syeikh yang sempurna akan terhasillah kepada seseorang penuntut itu beberapa Ahwal dan Kaifiat yang dengannya Zauq dan Shauq penuntut itu bertambah, merasakan kelazatan khas zikir dan ibadat serta memperolehi ketenangan dan ketenteraman hati. Seseorang yang mengalami tarikan Jazbah disebut sebagai Majzub.

Dalam Tariqat Naqshbandiyah ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan darjat adalah berdasarkan persahabatan dengan Syeikh dan Tawajjuh Syeikh. Bersahabat dengan Syeikh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat berdamping dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Murid hendaklah bersahabat dengan Syeikh dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan Syeikh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki tangga peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam Tariqat ini adalah sebagaimana  Para Sahabat menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berkat dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam majlis Hadharat Naqshbandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan dapat merasakan maqam Syuhud dan ‘Irfan yang hanya akan diperolehi setelah begitu lama menuruti jalan-jalan Tariqat yang lain. Kerana itulah Para Akabirin Naqshbandiyah Rahimahumullah mengatakan bahawa, “Tariqat kami pada ‘Ain hakikatnya merupakan Tariqat Para Sahabat”. Dan dikatakan juga, “Dar Tariqah Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum Ast Dar Tariqah Ma Na Khwahad Aamad.” Yang bermaksud, “Dalam Tariqat kami sesiapa pun tidak diharamkan dan barangsiapa yang telah diharamkan dalam Tariqat kami pasti tidak akan dapat datang.”
Yakni "barangsiapa yang menuruti Tariqat kami, dia takkan diharamkan dari menurutinya dan barangsiapa yang Taqdir Allah semenjak azali lagi telah diharamkan dari menuruti jalan ini, mereka itu sekali-kali takkan dapat menurutinya."

Di dalam Tariqat Naqshbandiyah, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa berjaga-jaga) menduduki maqam yang suci yang mana di sisi Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in dikenali sebagai Ihsan dan menurut istilah Para Sufiyah  disebut Musyahadah, Syuhud, Yad Dasyat atau ‘Ainul Yaqin. Ianya merupakan hakikat:
“Bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Nya”.

Tokoh Tariqat Naqsyabandiyah di Indonesia

1. Hadrat Syech Ahmad Shohibulwafa Tajjul Ariefin (Abah Anom) Ibni Sayyidii Syech Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) Nulinggih di Patapan Kajembaran Rahmaniyah Suryalaya Pagerageung Tasikmalaya Jawa Barat Indonesia 

2. 'Yang di muliakan Allah Tuan Guru Dr Syekh Salman Daim' Mursyid Tareqat Naqsbandiyah Alkholidiyah Jalaliyah Bandr Tinggi Sumatera Utara Indonesia 

3. Tn Guru SM Karimuddin, Mursyid Pondok Pesantren Darul Hikmah Bahjoga 4. KH Muhammad Arifin Syah MPd, Mursyid pondok pesantren Nurul Hidayah, Sibargot. 5. SM Andra Najmu Assyihab,Pimpinan pondok pesantren Darul Maimanah,Manuk dadali, Sibolga..

( artikel ini adalah kutipan langsung dari wikipedia)

Penjelasan lengkap selanjutnya mengenai ajaran-ajaran tarekat / tasauf dan lengkap dengan silsilah para syeikh dapat dibaca di wikipedia


 








Rabu, 28 Maret 2012

Dampak penyakit sombong

Renungan Ba'da Shubuh:

Oleh Mustadihisyam
Awal malapetaka dan kehancuran seseorang terjadi ketika penyakit sombong dan merasa diri paling benar bersemayam dalam hatinya. Inilah sifat yang melekat pada iblis. Sifat inilah yang berusaha ditransfer iblis kepada manusia yang bersedia menjadi sekutunya.
Sifat ini ditandai dengan ketidaksiapan untuk menerima kebenaran yang datang dari pihak lain; keengganan melakukan introspeksi (muhasabah); serta sibuk melihat aib dan kesalahan orang lain tanpa mau melihat aib dan kekurangan diri sendiri.
Padahal, kebaikan hanya bisa terwujud manakala seseorang bersikap rendah hati (tawadu); mau menyadari dan mengakui kekurangan diri; melakukan introspeksi; serta siap menerima kebenaran dari siapa pun dan dari mana pun. Sikap seperti ini sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang mulia dari para nabi dan rasul.
Nabi Adam AS dan Siti Hawa saat melakukan kesalahan dengan melanggar larangan Tuhan, alih-alih sibuk menyalahkan iblis yang telah menggoda dan memberikan janji dusta, mereka malah langsung bersimpuh mengakui segala kealpaan seraya berkata,
qaalaa rabbanaa zhalamnaa anfusanaa wa-in lam taghfir lanaa watarhamnaa lanakuunanna minaalkhaasiriina 
Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (QS Al-A’raf [7]: 23).
Demikian pula dengan Nabi Yunus AS saat berada dalam gelapnya perut ikan di tengah lautan. Ia tidak menyalahkan siapa pun, kecuali dirinya sendiri, seraya terus bertasbih menyucikan Tuhan-Nya. Ia berkata,
wadzaa alnnuuni idz dzahaba mughaadiban fazhanna an lan naqdira ‘alayhi fanaadaa fiialzhzhulumaati an laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu mina alzhzhaalimiina 
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Anbiya [21]: 87)

Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu membaca istigfar dan meminta ampunan kepada Allah SWT sebagai bentuk kesadaran yang paling tinggi bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Karena itu, ia harus selalu melakukan introspeksi. Beliau bersabda, “Wahai, manusia, bertobatlah dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sebab, aku bertobat sehari semalam sebanyak seratus kali.” (HR Muslim).
Begitulah sikap arif para nabi yang patut dijadikan teladan. Mereka tidak merasa diri mereka sudah sempurna, bersih, dan suci. Allah SWT berfirman,
alladziina yajtanibuuna kabaa-ira al-itsmi waalfawaahisya illaa allamama inna rabbaka waasi’ualmaghfirati huwa a’lamu bikum idz ansya-akum mina al-ardhi wa-idz antum ajinnatun fii buthuuni ummahaatikum falaa tuzakkuu anfusakum huwa a’lamu bimani ittaqaa 
(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa (QS An-Najm [53]: 32)
Karena itu, daripada mengarahkan telunjuk kepada orang, lebih baik mengarahkan telunjuk kepada diri sendiri. Daripada sibuk melihat aib orang, alangkah bijaknya kalau kita sibuk melihat aib sendiri. Dalam Musnad Anas ibn Malik RA, Nabi SAW bersabda, “Beruntunglah orang yang sibuk melihat aib dirinya sehingga tidak sibuk dengan aib orang lain.”

Fudhail bin Ayyad: Takut pada Allah dengan sebenarnya.
Oleh: Mustadihisyam
Seorang anak muda yang dikenal sangat nakal, tak mengenal jalan kepada Tuhan, bahkan lupa kepada Tuhan sehingga Tuhan pun melupakan dirinya. Pada suatu malam dari sebuah rumah tingkat terdengar suara merdu dari seorang perempuan. Dipanjatnya dinding rumah oleh anak muda itu, didengarkan suaranya dan diintipnya wajah perempuan itu, sungguh cantik wajahnya !
Tetapi saat anak muda tertegun melihat wajah cantik itu, dia tafakur mendengar suaranya, bukan bernyanyi, tetapi perempuan itu membaca Al-Qur’an surat Al Hadid ayat 16 :
alam ya/ni lilladziina aamanuu an takhsya’a quluubuhum lidzikri allaahi wamaa nazala mina alhaqqi walaayakuunuu kaalladziina uutuu alkitaaba min qablu fathaala ‘alayhimu al-amadu faqasat quluubuhum wakatsiirun minhum faasiquuna
 
“Belumkah datang masanya bagi orang-orang yang beriman, bahwa akan khusyu’ hati mereka karena mengingat Allah dan mengingat kebenaran yang diturunkan, dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik”.
 
Luluhlah hati anak muda itu lantaran merdengar ayat itu, luluh hatinya bukan lagi wajah cantik rupawan yang mempesona itu dan bukan pula suaranya yang merdu, melainkan isi ayat itu sendiri.
Pemuda itu lalu pelan-pelan melangkahkan kakinya turun dari rumah si gadis itu, trenyuh hatinya, seketika itu timbul perubahan perasaan dalam jiwanya, sikap yang galak menjadi tertunduk.
Mulai saat itulah anak muda itu mengubah jalan hidupnya yang awal mulanya tak mau mengenal jalan kepada Tuhan, lupa kepada Tuhan, lupa diri, menjadi seorang anak muda yang mengabdikan dirinya kepada Tuhan secara total dan akhirnya menjadi salah seorang pelopor dari keteguhan Iman di zaman Daulat Abbasiyah.
Dialah Fudhail bin Ayyadh, seorang ahli Shufi dan Zuhud yang terkenal.
innamaa almu/minuuna alladziina idzaa dzukira allaahu wajilat quluubuhum wa-idzaa tuliyat ‘alayhimaayaatuhu zaadat-hum iimaanan wa’alaa rabbihim yatawakkaluuna
 
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Nya, bertambahlah iman mereka ( karenanya ) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal “. ( QS Al Anfal, ayat 2 ).