Amazon Books

Rabu, 28 Maret 2012

Dampak penyakit sombong

Renungan Ba'da Shubuh:

Oleh Mustadihisyam
Awal malapetaka dan kehancuran seseorang terjadi ketika penyakit sombong dan merasa diri paling benar bersemayam dalam hatinya. Inilah sifat yang melekat pada iblis. Sifat inilah yang berusaha ditransfer iblis kepada manusia yang bersedia menjadi sekutunya.
Sifat ini ditandai dengan ketidaksiapan untuk menerima kebenaran yang datang dari pihak lain; keengganan melakukan introspeksi (muhasabah); serta sibuk melihat aib dan kesalahan orang lain tanpa mau melihat aib dan kekurangan diri sendiri.
Padahal, kebaikan hanya bisa terwujud manakala seseorang bersikap rendah hati (tawadu); mau menyadari dan mengakui kekurangan diri; melakukan introspeksi; serta siap menerima kebenaran dari siapa pun dan dari mana pun. Sikap seperti ini sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang mulia dari para nabi dan rasul.
Nabi Adam AS dan Siti Hawa saat melakukan kesalahan dengan melanggar larangan Tuhan, alih-alih sibuk menyalahkan iblis yang telah menggoda dan memberikan janji dusta, mereka malah langsung bersimpuh mengakui segala kealpaan seraya berkata,
qaalaa rabbanaa zhalamnaa anfusanaa wa-in lam taghfir lanaa watarhamnaa lanakuunanna minaalkhaasiriina 
Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (QS Al-A’raf [7]: 23).
Demikian pula dengan Nabi Yunus AS saat berada dalam gelapnya perut ikan di tengah lautan. Ia tidak menyalahkan siapa pun, kecuali dirinya sendiri, seraya terus bertasbih menyucikan Tuhan-Nya. Ia berkata,
wadzaa alnnuuni idz dzahaba mughaadiban fazhanna an lan naqdira ‘alayhi fanaadaa fiialzhzhulumaati an laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu mina alzhzhaalimiina 
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Anbiya [21]: 87)

Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu membaca istigfar dan meminta ampunan kepada Allah SWT sebagai bentuk kesadaran yang paling tinggi bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Karena itu, ia harus selalu melakukan introspeksi. Beliau bersabda, “Wahai, manusia, bertobatlah dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sebab, aku bertobat sehari semalam sebanyak seratus kali.” (HR Muslim).
Begitulah sikap arif para nabi yang patut dijadikan teladan. Mereka tidak merasa diri mereka sudah sempurna, bersih, dan suci. Allah SWT berfirman,
alladziina yajtanibuuna kabaa-ira al-itsmi waalfawaahisya illaa allamama inna rabbaka waasi’ualmaghfirati huwa a’lamu bikum idz ansya-akum mina al-ardhi wa-idz antum ajinnatun fii buthuuni ummahaatikum falaa tuzakkuu anfusakum huwa a’lamu bimani ittaqaa 
(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa (QS An-Najm [53]: 32)
Karena itu, daripada mengarahkan telunjuk kepada orang, lebih baik mengarahkan telunjuk kepada diri sendiri. Daripada sibuk melihat aib orang, alangkah bijaknya kalau kita sibuk melihat aib sendiri. Dalam Musnad Anas ibn Malik RA, Nabi SAW bersabda, “Beruntunglah orang yang sibuk melihat aib dirinya sehingga tidak sibuk dengan aib orang lain.”

Fudhail bin Ayyad: Takut pada Allah dengan sebenarnya.
Oleh: Mustadihisyam
Seorang anak muda yang dikenal sangat nakal, tak mengenal jalan kepada Tuhan, bahkan lupa kepada Tuhan sehingga Tuhan pun melupakan dirinya. Pada suatu malam dari sebuah rumah tingkat terdengar suara merdu dari seorang perempuan. Dipanjatnya dinding rumah oleh anak muda itu, didengarkan suaranya dan diintipnya wajah perempuan itu, sungguh cantik wajahnya !
Tetapi saat anak muda tertegun melihat wajah cantik itu, dia tafakur mendengar suaranya, bukan bernyanyi, tetapi perempuan itu membaca Al-Qur’an surat Al Hadid ayat 16 :
alam ya/ni lilladziina aamanuu an takhsya’a quluubuhum lidzikri allaahi wamaa nazala mina alhaqqi walaayakuunuu kaalladziina uutuu alkitaaba min qablu fathaala ‘alayhimu al-amadu faqasat quluubuhum wakatsiirun minhum faasiquuna
 
“Belumkah datang masanya bagi orang-orang yang beriman, bahwa akan khusyu’ hati mereka karena mengingat Allah dan mengingat kebenaran yang diturunkan, dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik”.
 
Luluhlah hati anak muda itu lantaran merdengar ayat itu, luluh hatinya bukan lagi wajah cantik rupawan yang mempesona itu dan bukan pula suaranya yang merdu, melainkan isi ayat itu sendiri.
Pemuda itu lalu pelan-pelan melangkahkan kakinya turun dari rumah si gadis itu, trenyuh hatinya, seketika itu timbul perubahan perasaan dalam jiwanya, sikap yang galak menjadi tertunduk.
Mulai saat itulah anak muda itu mengubah jalan hidupnya yang awal mulanya tak mau mengenal jalan kepada Tuhan, lupa kepada Tuhan, lupa diri, menjadi seorang anak muda yang mengabdikan dirinya kepada Tuhan secara total dan akhirnya menjadi salah seorang pelopor dari keteguhan Iman di zaman Daulat Abbasiyah.
Dialah Fudhail bin Ayyadh, seorang ahli Shufi dan Zuhud yang terkenal.
innamaa almu/minuuna alladziina idzaa dzukira allaahu wajilat quluubuhum wa-idzaa tuliyat ‘alayhimaayaatuhu zaadat-hum iimaanan wa’alaa rabbihim yatawakkaluuna
 
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Nya, bertambahlah iman mereka ( karenanya ) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal “. ( QS Al Anfal, ayat 2 ).


Sabtu, 24 Maret 2012

Mengenal Ajaran Tasawuf

Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi[rujukan?]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.

Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.
Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.

Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf sangat lah membingungkan.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah[1]. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut disebut orang sufi.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad SAW. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad [2].
Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.[3]

Beberapa definisi sufisme:
  • Yaitu paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
  • Yaitu aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr. C.B. Van Haeringen).
Pendapat yang mengatakan bahwa sufisme/tasawuf berasal dari dalam agama Islam:
  • Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995) [4]
  • Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.] [5].
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar agama Islam:
  • Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
  • (Sufisme)yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz).
  • Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran di dalam Islam (Prof.Dr.H.Abubakar Aceh).
  • Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya, paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumlah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980)[6].
  • Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, hal itu bukanlah ajaran Rasulullah SAW dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc) [7].

Paham-paham (ajaran) dalam Tasawuf

Kedudukan syariat dalam empat tingkatan spiritual

Empat tingkatan kedalaman beragama
Syari'at dalam perspektif faham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat, ma'rifat, yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut.
Sebuah tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh, jika seseorang telah mulai masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.
Sahadat Cerbon[3] Dalam Pandangan Tasawuf

Kita semua tahu bahwa ihsan merupakan salah satu komponen agama. Ihsan dalam implementasi kehidupan, merupakan pekerjaan para ulama Ahli Tasawwuf untuk menjelaskan dan mengekspresikannya. Amal dalam konteks mereka menjadi ‘percuma’ tanpa ihasan. Sementara ihsan dalam “batasan” hadis yang langsung diajarkan oleh Jibril kepada Rosulullah SAW] di hadapan para sahabat adalah menjalankan ibadah yang selalu berfokus kepada Allah SWT, "anta’budallaha ka annaka tarohu" . Dalam al Qur’an, ada satu ayat yang menerangkan tentang tujuan penciptaan jin dan manusia. Secara jelas Allah SWT menuturkan bahwa mereka (jin dan manusia) tidak diciptakan kecuali untuk beribadah kepadaNya, "wamaa kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduniy" . Bagi orang-orang sufi, tak ada satu kegiatan pun di dunia yang tak bernilai ibadah. Dalam kaitan dengan ini, maka muncul istilah ibadah mahdloh dan ghoiru mahdloh. Jika kita sepakat, bahwa seluruh kegiatan yang kita jalani ini adalah ibadah, maka ihsan dalam setiap gerakan kita harus selalu kita tampilkan dan suasanakan. Kemudian, ihsan yang model mana yang hendak kita pahami dan lakukan. Bila ihsan merupakan renungan yang selalu kepada Allah SWT dalam setiap ibadah yang dilakukan, maka ada istilah dalam ilmu sufi yang muncul untuk memahami kondisi tersebut. Dalam hal ini, Para Ulama Sufi telah berusaha memberi pelajaran, penjabaran, batasan, dan pendidikan kepada umat tentang kondisi berihsan dengan kaidah musyahadah yang mashur. Musyahadah, secara bahasa, bermakna hal menyaksiakan Allah SWT. Dan secara kaidah sufi berarti; 1. Musyahadah bil Haq. Tingkatan Pertama ini kondisi dan batasannya adalah “melihat sesuatu dengan petunjuk tauhid”, 2. Musyahadah lil Haq. Tingkatan Kedua ini kondisi dan batasannya adalah “melihat al Haq (Allah SWT) dalam sesuatu”, dan 3. Musyahadah al Haq. Tingkatan Terakhir ini adalah hakikat yakin yang tak ada keraguan didalamnya” . Kami menduga, bahwa Sahadat Cerbon[4] berangkat dari pemahaman semacam ini, kemudian mereka, para pendahulu Cirebon, berfikir dan membuat suatu “bacaan” yang menggiring kita kepada kondisi musyahadah yang dikehendaki. Banyak cara dan tekhnik dilakukan oleh para Sufi terdahulu untuk menerjunkan pemikiran dan perasaan dalam kondisi ihsan, musyahadah yang bernilai makrifat.[5]

Paham Kesatuan Wujud
Paham kesatuan wujud adalah paham yang dibawa oleh Ibn Arabi pada abad 3 Hijriah. Diantara tokoh-tokohnya adalah Ibn Arai, Al-Hallaj, Jalaludin Rumi. Paham kesatuan wujud adalah paham yang ditolak oleh Al-Ghazali dan Ibn Taimiyah.

Ketika tidak ada gerak bagimu untuk dirimu sendiri maka sempurna yakinmu, dan ketika tidak ada wujudmu bagimu maka sempurna tauhidmu. [6] Maknanya: ketika kamu fana dari wujudmu karena tidak adanya pandanganmu terhadap wujudmu sama sekali, dengan cara kamu tidak melihat wujud bagi dirimu beserta wujud Gusti-mu Yang Maha Agung dan Mulia, maka sempuna tauhidmu. Hal itu, karena kamu telah menyatakan Gusti-mu dan kamu mempertimbangkan pandanganmu didalamnya. Maka kamu melihat wujudmu, yaitu semua amalmu dari Allah swt sebagi ciptaan, maka ketika ini, kamu tidak melihat wujud kecuali Allah swt Yang Maha Agung dan Mulia. Maka ketika itu telah sempurna tauhidmu. Karena hamba selagi melihat wujud dan amalnya sendiri, maka tidak sempurna tauhidnya menurut para muwahhidiin muhaqqiqiin para petauhid sempurna. Karena dia masih melihat dirinya dapat beramal yang amal itu keluar dari dirinya. Berbeda dengan muwahhidiin muhaqqiqiin (para petauhid sempurna), dia (mereka) telah hilang dari wujud dirinya yang majazi dan rusak dengan sebab wujud Allah swt yang Maha Ada yang kekal dan hakiki. Hal itu ketika Allah swt telah memberikan kenyataan padanya tentang hakikat-hakikat, lalu dia melihat dengan cahaya Tuhan-nya yang telah dititipkan pada relung hatinya, bahwa sesungguhnya Allah swt telah mewujudkan dirinya dengan anugerah-NYA dan menolongnya dengan kasih-NYA, kemudian dia tidak melihat dalam wujud selain Allah swt dan tidak melihat kasih selain Allah swt Yang Maha Agung dan Mulia, maka sempurnalah tauhidnya. [7
Menurut al-Banjari, kaum wujudiyyah (orang-orang yang memahami tentang wahdatul wujud) itu ada dua golongan: wujudiyyah mulhid dan wujudiyyah muwahhid. wujudiyyah mulhid termasuk golongan yang sesat lagi zindiq. Wujudiyyah muwahhid, menurut dia, “yaitu segala ahli sufi yang sebenarnya”, mereka dinamakan kaum wujudiyyah ”karena bicaranya dan perkataannya dan itikadnya itu pada wujud Allah”. Ia tidak menjelaskan isi ajaran mereka, tetapi sebagai lawan dari wujudiyyah mulhid tadi, wujudiyyah muwahhid tentu tidak menganggap bahwa Allah tidak “tiada maujud melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk”, atau “bahwa Allah itu ketahuan zat (esensi)-Nya nyata kaifiat-Nya dari pada pihak ada. Ia waujud pada kharij dan pada zaman dan makan”, dan tidak pula membenarkan pernyataan-pernyataan seumpama “tiada wujudku, hanya wujud Allah”, dan sebagainya, yang mencerminkan pandagan wujudiyyah mulhid itu. Keterangan al-Banjari mengenai ajaran kaum wujudiyyah mulhid itu kelihatan sangat mirip dengan keterangan ar-Raniri, yang dalam abad sebelumnya menyanggah penganut-penganut di Aceh.
Berdasarkan penjelasan ini, pada dasarnya sama dengan ajaran wahdah al-wujud Ibnu Arabi. Ajaran ini juga memandang alam semesta ini sebagai penampakan lahir Allah dalam arti bahwa wujud yang hakiki hanya Allah saja -alam semesta ini hanya bayangan- bayang-Nya. Dari satu segi, ajaran ini kelihatan sama dengan ajaran tauhid tngkat tertinggi. Kedua ajaran itu memandang bahwa wujud yang hakiki hanya satu-Allah, tetapi dari lain segi wujudiyyah muwahhid dan wihdah al-wujud ini tidak sama dengan pandangan “bahwa yang ada hanya Allah” dalam ajaran yang terakhir ini hanya tercapai dalam keadaan yang disebut fana, yakni terhapunya kesadaran akan wujud yang lain, sedang dalam ajaran wihdah al-wujud, pandangan tersebut kelihatan sebagai hasil penafsiran atas fenomena alam yang serba majemuk ini.
Di samping itu, pandangan tauhid tingkat tertinggi itu, nampaknya didasarkan atas asumsi bahwa esensi Allah yang mutlak itu dapat dikenali secara langsung, tanpa melalui penampakan lahir-Nya, asumsi ini dibantah oleh Ibnu Arabi, karena menurut dia Allah hanya bisa dikenal melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Naskah Klasik [[9]] Keagamaan Nusantara I Cerminan Budaya Bangsa, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Lektur Keagamaan
Kekuatan Tasawuf
Tasawuf merupakan suatu kekuatan. Hal itu karena jiwa kaum sufi tiada harganya di jalan Allah. Mereka merelakan jiwa mereka untuk menegakan kalimat Tuhan. Mereka membebani diri dengan kepayahan untuk menyebarkan agama (khususnya) Islam di wilayah-wilayah Afrika dan negeri-negeri yang belum di taklukan oleh pasukan Islam. Pengaruh mereka cukup besar dalam menyebarkan Islam di negeri Melayu (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina). Juga negeri-negeri lainnya di dunia.[10]

Tasawuf  Dan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang di zaman Yunani kuno diberi citra, bahkan diidentikkan dengan filsafat. Tasawuf sebagai ilmu juga diarahkan untuk kepentingan agama (Kristiani), baru memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak mempunyai komitmen dengan apa atau siapapun (agama, tradisi, sistem pemerintahan, otoritas politik dan lain sebagainya) selain komitmen dengan dirinya sendiri untuk mempertahankan kebebasannya dalam menentukan cara dan sarana menuju kehidupan yang hendak dicapai.[11]

Kesenian dalam Tasawuf
Sufisme telah menyumbang cukup banyak puisi dalam Bahasa Arab, Bahasa Turki, Bahasa Farsi, Bahasa Kurdi, Bahasa Urdu, Bahasa Punjab, Bahasa Sindhi, yang paling dikenal mencakup karya dari Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, Sultan Bahu, tradisi-tradisi dan tarian persembahan seperti Sama dan musik seperti Qawalli.
      • Kesenian Sufi Cirebon [[11]]***
Di Cirebon, kesenian yang berhubungan dengan Kesenian Sufi ini adalah Brai, Gembyung, Terbang, Genjring Santri, dan lainya. Kebanyakan Jenis Kesenian yang beredar di Cirebon terkait dengan perkembangan paham tasawuf tersebut.
Beberapa buku yang telah di tulis oleh para seniman, budayawan, dan sejarahwan Cirebon menguatkan anggapan ini. Buku-buku yang memuat tentang kesenian Cirebon yang berakar pada ajaran tasawuf ini diantaranya adalah Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon yang di tulis oleh Rokhmin Dahuri dkk pada tahun 2004 dan di cetak oleh PNRI. Selanjutnya buku Deskripsi Kesenian Cirebon yang di susun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kaupaten Cirebon yang salah satu anggota penyusunnya adalah Bapak Kartani. Dalam banyak kesempatan Kartani selalu menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena media kesenian sangat cocok untuk berdakwah pada saat itu Mertasinga 2004.
Jika seni dan kesenian dijadikan sebagai media dakwah, maka sangat mungkin dan bisa dipastikan bahwa para pelukanya adalah penganut paham sufisme/tasawuf yang selalu menitik beratkan pada niat baik dalam segala aktiitas yang dijalnkannya. [[12
Mistik
Menurut buku De Kleine W.P. Encylopaedie (1950, Mr. G.B.J. Hiltermann dan Prof.Dr.P. Van De Woestijne halaman 971 dibawah kata mystiek) kata mistik berasal dari bahasa Yunani myein yang artinya menutup mata (de ogen sluiten) dan musterion yang artinya suatu rahasia (geheimnis).
Beberapa pendapat tentang paham misitk atau mistisisme :
  • Kepercayaan tentang adanya kontak antara manusia bumi (aardse mens) dan tuhan (Dr. C.B. Van Haeringen, Nederlands Woordenboek, 1948).
  • Kepercayaan tentang persatuan mesra (innige vereneging) ruh manusia (ziel) dengan Tuhan (Dr. C.B. Van Haeringen, Nederlands Woordenboek, 1948).
  • Kepercayaan kepada suatu kemungkinan terjadinya persatuan langsung (onmiddelijke vereneging) manusia dengan Dzat Ketuhanan (goddelijke wezen) dan perjuangan bergairah kepada persatuan itu (Algemeene Kunstwoordentolk, J. Kramers. Jz).
  • Kepercayaan kepada hal-hal yang rahasia (geheimnissen) dan hal-hal yang tersembunyi (verborgenheden). (J. Kramers. Jz).
  • Kecenderungan hati (neiging) kepada kepercayaan yang menakjubkan (wondergeloof) atau kepada ilmu yang rahasia (geheime wetenschap). (Algemeene Kunstwoordentolk, J. Kramers. Jz).
Selain diperolehnya definisi, pendapat-pendapat tentang paham mistik diatas berdasarkan materi ajarannya juga memberikan adanya pemilahan antara paham mistik keagamaan (terkait dengan tuhan dan ketuhanan) dan paham mistik non-keagamaan (tidak terkait dengan tuhan ataupun ketuhaan).

Ajaran dan sumber mistik
Selain serba mistis, ajarannya juga serba subyektif  tidak obeyktif. (menurut kelaziman logika berpikir).Tidak ada pedoman dasar yang universal dan yang otentik. Bersumber dari pribadi tokoh utamanya sehingga paham mistik itu tidak sama satu sama lain meski tentang hal yang sama. Sehingga pembahasan dan pengalaman ajarannya tidak mungkin dikendalikan atau dikontrol dalam arti yang semestinya.
Biasanya tokohnya sangat dimuliakan, diagungkan bahkan diberhalakan (dimitoskan, dikultuskan) oleh penganutnya karena dianggap memiliki keistimewaan pribadi yang disebut kharisma. Anggapan adanya keistimewaan ini dapat disebabkan oleh :
  1. Pernah melakukan kegiatan yang istimewa.
  2. Pernah mengatasi kesulitan, penderitaan, bencana atau bahaya yang mengancam dirinya apalagi masyarakat umum.
  3. Masih keturunan atau ada hubungan darah, bekas murid atau kawan dengan atau dari orang yang memiliki kharisma.
  4. Pernah meramalkan dengan tepat suatu kejadian besar/penting.
Sedangkan bagaimana sang tokoh itu menerima ajaran atau pengertian tentang paham yang diajarkannya itu biasanya melalui petualangan batin, pengasingan diri, bertapa, bersemedi, bermeditasi, mengheningkan cipta dll dalam bentuk ekstase, vision, inspirasi dll. Jadi ajarannya diperoleh melalui pengalaman pribadi tokoh itu sendiri dan penerimaannya itu tidak mungkin dibuktikannya sendiri kepada orang lain.
Dengan demikian penerimaan ajarannya hampir-hampir hanya berdasarkan kepercayaan belaka, bukan pemikiran. Maka dari itulah di antara kita ada yang menyebutnya paham, ajaran kepercayaan atau aliran kepercayaan (geloofsleer).
Mengingat pengajarannya tidak mungkin dikendalikan dalam arti semestinya, maka paham mistik mudah memunculkan cabang baru menjadi aliran-aliran baru sesuai penafsiran masing-masing tokohnya. Atau juga sebaliknya mudah timbul penggabungan atau percampuran ajaran paham-paham yang telah ada sebelumnya.
Karena serba mistik maka paham mistik atau kelompok penganut paham mistik tidak terlalu sulit digunakan oleh orang-orang yang ada tujuan tertentu dan yang perlu dirahasiakan karena menyalahi atau bertentangan dengan opini umum atau hukum yang berlaku sebagai tempat sembunyi.
Materinya serba abstrak artinya tidak konkrit, misal tentang tuhan (paham mistik ketuhanan), tentang keruhanian atau kejiwaan, alam di balik alam dunia dll (paham mistik non-keagamaan). Dengan demikian pembicaraannya serba spekulatif, yaitu serba menduga-duga, mencari-cari, memungkin-mungkinkan dll (tidak komputatif). Pembicaraannya serba berpanjang-panjang, serba berlebih-lebihan dalam arti melebihi kewajaran atau melebihi pengetahuan dan pengertiannya sendiri (meski sudah mengakui tidak tahu, masih mencoba memungkin-mungkinkan). Oleh karena itu di kalangan penganut paham mistik tidak dikenal pembahasan disiplin mengenai ajarannya sebagaimana yang berlaku dalam diskusi atau munaqasyah.

Sebab musabab orang menganut paham mistik
  1. Kurang puas yang berlebihan, bagi orang-orang yang hidup beragama secara bersungguh-sungguh merasa kurang puas dengan hidup menghamba kepada tuhan menurut ajaran agamanya yang ada saja.
  2. Rasa kecewa yang berlebihan, Orang yang hidupnya kurang bersungguh-sungguh dalam beragama atau orang yang tidak beragama merasa kecewa sekali melihat hasil usaha umat manusia di bidang science dan teknologi yang semula diandalkan dan diagungkan ternyata tidak dapat mendatangkan ketertiban, ketentraman dan kebahagiaan hidup. Malah mendatangkan hal-hal yang sebaliknya. Mereka 'lari' dari kehidupan modern menuju ke kehidupan yang serba subyektif, abstrak dan spekulatif sesuai dengan kedudukan sosialnya.
  3. Mencari hakekat yang sebenarnya, orang yang ingin mencari hakekat hidup sebenarnya juga ada yang terjebak bahwa kebenaran hanya akan didapat dari pengalaman mistiknya.
Di antara mereka masih ada yang berusaha merasionalkan ajaran paham mistik yang dianutnya, dan ada pula yang tegas-tegas lepas sama sekali dari tuntutan kemajuan zaman ini
(sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme)

Suluk dalam Islam dan ajaran Tasauf
Suluk dalam bahasa Indonesia berarti jalan menuju kesempurnaan.batin, tarekat, tasauf. Dalam bahasa Jawa suluk berarti tembang (nyanyian) ketika dalang akan memulai pertunjukkan wayang.

Secara harafiah Suluk berarti  menempuh jalan. Dalam  agama Islam dan sufisme, kata suluk berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah. Menempuh jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah disiplin seumur hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama Islam (syariat) sekaligus aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat). Ber-suluk juga mencakup hasrat untuk Mengenal Diri, Memahami Esensi Kehidupan, Pencarian Tuhan, dan Pencarian Kebenaran Sejati (ilahiyyah), melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan.
Kata suluk berasal dari terminologi Al-Qur'an, Fasluki, dalam Surat An-Nahl [16] ayat 69, Fasluki subula rabbiki zululan, yang artinya Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu). Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik. yaitu jalan yang ditempuh untuk membersihkan jiwa atau batin dari lumuran dosa. Untuk menjadi seorang Salik seorang muslim selama seumur hidupnya harus menjalani disiplin dalan melaksanakan syariat lahiriah sekaligus juga disiplin dalam menjalani syariat batiniah agama Islam. Seseorang tidak disebut sebagai seorang salik jika hanya menjalani salah satu disiplin tersebut. Seorang salik juga disebut sebagai seorang murid ketika ia menjalani disiplin spiritual tersebut dibawah bimbingan guru sufi tertentu, atau dalam tarekat tertentu.

Tarekat dalam Tasauf
Kata tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah).
Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada al-Thariqah al-Mu'tabarah al-Ahadiyyah, Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naksibandiyah, Tarekat Rifa'iah, Tarekat Samaniyah dll. Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf (Suawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam sebutannya saja.
Tokoh Tasawuf Di Indonesia
Adapun tokoh-tokoh Tasawuf yang berpengaruh di Cirebon[2] diantaranya ialah Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Gunungjati, Syekh Nurjati, guru dari Sunan Gunungjati, Syekh Abdullah Iman atau yang terkenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana, Syekh Mulyani atau yang terkenal dengan sebutan Syekh Royani yang melahirkan para ulama di Srengseng, sebuah desa yang terkenal di Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Mbah Kriyan, Syekh Tholhah yang menjadi guru dari Syeikh 'Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a., Syekh Jauharul Arifin pendiri Pondok Pesantren Al-Jauhariyah Balerante, Palimanan, Kabupaten Cirebon, dan tokoh-tokoh Cirebon yang lain. [9]
(sumber referensi: wikipedia)