Amazon Books

Minggu, 03 November 2013

Tarekat Qadiriyah

TAREKAT QADIRIYAH

'Jalan' ini diadakan oleh para pengikut Abdul Qadir dari Gilan, yang lahir di Nif, distrik Gilan, sebelah selatan Laut Kaspia. Dia meninggal dunia tahun 1166, dan menggunakan terminologi sangat sederhana yang kemudian hari digunakan oleh orang-orang Rosicrucia di Eropa.
Hadrat Syeikh Abdul Qadir khususnya dalam pengaruhnya terhadap keadaan-keadaan spiritual, disebut 'Ilmu Pengetahuan Keadaan'. Pekerjaannya telah digambarkan dalam istilah yang berlebih-lebihan oleh para pengikutnya bahwa laporannya secara pribadi memperlihatkan kemiripan dengan definisi-definisi yang mereka miliki sendiri tentang karakter seorang guru Sufi.
Semangat untuk mengerjakan yang berlebihan terhadap teknik-teknik menggembirakan hampir pasti menjadi sebab keadaan yang memburuk dari tarekat Qadiriyah. Hal ini mengikuti suatu pola umum dalam diri para penggikut, apabila hasil dari suatu kondisi pikiran yang berubah menjadi suatu tujuan dan bukan suatu cara atau alat yang diawasi oleh seorang ahli.
Ringkasan berikut termasuk materi pelajaran tradisional dari disiplin Qadiriyah dan juga beberapa pokok ucapan atau teguran Abdul Qadir sendiri.

BUNGA MAWAR DARI BAGHDAD

Semua kaum darwis menggunakan bunga mawar (ward) sebagai suatu lencana dan simbol dari persamaan bunyi (rima) dari kata wird (latihan konsentrasi-mengingat Allah).
Abdul Qadir, pendiri tarekat Qadiriyah, termasuk dalam suatu peristiwa yang memberinya julukan Mawar dari Baghdad. Hal itu dikaitkan bahwa Baghdad telah demikian penuh dengan para guru kebatinan (mistik), ketika Abdul Qadir tiba di kota, maka diputuskan untuk mengiriminya sebuah pesan. Kaum mistik oleh karena itu mengirimkan kepadanya, di pinggiran kota, sebuah bejana yang diisi penuh dengan air. Maksudnya sudah jelas: "Cawan Baghdad sudah penuh".
Meski musim kemarau dan di luar musim, Abdul Qadir telah menghasilkan bunga mawar yang berkembang penuh, yang dia letakkan di atas air dalam bejana tersebut, menunjukkan kekuatannya yang luar biasa dan juga bahwa masih ada tempat bagi dirinya.
Ketika tanda-tanda ini telah dibawa kepada mereka, kumpulan kaum kebatinan tersebut berteriak, "Abdul Qadir adalah mawar kami," dan mereka pun cepat-cepat mengantarkannya ke kota.

ANGGUR

Seseorang telah menanam anggur, dikenal sebagai suatu jenis baru yang menghasilkan buah anggur yang siap dimakan hanya setelah berumur tigapuluh tahun.
Demikianlah yang terjadi, dia menanamnya, Sultan melintas, berhenti dan berkata:
"Engkau seorang yang luar biasa optimis jika engkau berharap hidup hingga anggur itu berbuah."
"Mungkin tidak akan," jawab orang itu, "tetapi setidaknya para penggantiku akan hidup mengambil keuntungan dari pekerjaanku, sebagaimana kami semua mengambil untung dari kerja para pendahulu kita."
"Kalau begitu," jawab sang Penguasa, "apabila beberapa pohon anggur telah berbuah, bawa beberapa diantaranya kepadaku. Itu jika kedua diantara kita telah lolos dari pedang kematian yang menggantung di atas kita sepanjang waktu."
Dia pun pergi.
Beberapa tahun kemudian pohon anggur tersebut telah mulai menghasilkan buah anggur yang lezat. Orang tersebut mengisi sebuah keranjang besar dengan buah anggur pilihan dan pergi ke istana.
Sang Sultan menerimanya dan memberinya sebuah hadiah emas yang banyak.
Kabar pun segera tersiar, "Seorang petani yang tak berharga telah diberi sejumlah emas yang banyak sebagai ganti untuk sekeranjang anggur."
Seorang perempuan dungu mendengar hal ini, dengan segera mengisi sebuah keranjang dengan buah anggur miliknya dan membawanya sendiri ke penjaga istana, lantas berkata; "Aku meminta ganjaran yang sama dengan yang telah diterima laki-laki tadi pagi. Ini buah anggurku. Jika sultan memberi uang untuk buah-buahan, ini buah-buahan itu."
Kabar tersebut telah sampai kepada sang Sultan, yang kemudian menjawabnya: "Orang yang berbuat dengan meniru dan sombong menegaskan kekurangannya akan penyelidikan terhadap keadaan yang mereka coba untuk menirunya, karenanya usir dia."
Orang perempuan itu telah mengirim buah anggurnya, tetapi dia demikian jengkel karena dia tidak bersusah-susah untuk menanyakan kepada sang 'penumbuh' anggur, apa yang sesungguhnya terjadi.

SANG GURU DAN ANJING

Seorang guru Sufi, berjalan sepanjang jalan dengan seorang muridnya, telah diserang oleh seekor anjing yang galak.
Si murid dengan garang berteriak:
"Betapa berani kau mendekati guruku dalam sikap seperti itu!"
"Dia lebih berpendirian tetap daripada dirimu," kata sang Guru, "karena dia menggonggong kepada seseorang, sesuai dengan kebiasaan dan kesukaannya; sementara engkau memandangku sebagai gurumu dan sama sekali tidak dapat merasakan manfaat dari banyaknya penerangan yang telah kita persiapkan untuk mengarungi perjalanan ini, mengabaikan mereka tanpa pertimbangan lagi."

DERAJAT (KEBESARAN) DAN SERIGALA

Serigala berpikir bahwa dia telah menyenangkan diri sendiri dengan baik, ketika dia pada kenyataannya hanya memakan sisa-sisa dari (makanan) singa.
Aku menyebarkan ilmu pengetahuan yang menghasilkan 'derajat'. Inilah, digunakan untuk diri sendiri, sebab-sebab bencana. Dia yang menggunakannya hanya akan menjadi terkenal, bahkan sangat kuat. Dia akan memimpin manusia menyembah 'derajat', hingga mereka akan nyaris tak dapat kembali kepada Jalan Sufi.
(Abdul Qadir al Jilani)

BINATANG BUAS, KAMBING DAN ORANG DESA

Suatu kali seekor binatang buas telah tertangkap oleh penduduk desa. Mereka mengikatnya ke sebuah pohon. Merenungkan penderitaan yang mereka timpakan atas dirinya; telah diputuskan untuk menghanyutkan dia ke laut sore itu, setelah mereka menyelesaikan pekerjaan mereka sehari-hari.
Tetapi seekor kambing yang tidak begitu pandai, datang menghampiri dan menanyai binatang buas yang cerdik itu, mengapa dia diikat seperti itu.
"Ah," kata binatang buas, "beberapa orang telah meletakkan aku di sini karena aku tidak mau menerima uang mereka."
"Mengapa mereka ingin memberikannya kepadamu, dan mengapa engkau tidak menerimanya?" tanya si kambing dengan bersemangat.
"Karena aku tafakur, dan mereka ingin menyuapku," kata binatang buas, "mereka manusia tak bertuhan."
Si kambing mempengaruhi bahwa dia akan menggantikan tempat binatang buas, dan menasihati agar binatang buas tersebut lari menjauh dari jangkauan orang-orang tak bertuhan tersebut. Maka mereka pun berganti tempat.
Warga desa kembali setelah senja turun, menutup kepala kambing dengan karung, mengikatnya, dan menghanyutkannya ke laut.
Keesokan harinya mereka terkejut melihat binatang buas memasuki desa dengan sekawanan domba.
"Di laut sana, ruh-ruh dengan baik hati membalas siapa saja yang terjun ke dalamnya dan 'tenggelam' dalam sikap demikian," kata binatang buas.
Dalam sekejap, orang berduyun-duyun pergi ke pantai dan terjun ke laut.
Itulah sebabnya mengapa binatang buas tersebut mengambil alih desa yang ditinggalkan penduduknya.

DIB-DIB YANG MENGERIKAN

Suatu malam seorang pencuri bermaksud merampok seorang perempuan tua, merayap di atas jendela yang terbuka rumahnya. Perempuan tua itu tengah terbaring di atas tempat tidurnya dan si pencuri mendengar pembicaraannya yang penuh emosi, dalam suatu kondisi yang sangat asing. Dia berkata:
"Aaah ... Dib-Dib, Dib-Dib yang mengerikan! Dib-Dib yang buruk sekali inilah yang akan menjadi akhir dariku."
Sang pencuri berpikir:
"Perempuan malang ini tengah menderita oleh penyakit menular Dib-Dib yang mengerikan, yang aku belum pernah dengar sebelumnya!"
Kemudian, sebagaimana ratapan perempuan yang bertambah keras, sang pencuri mulai berkata kepada dirinya sendiri:
"Sudahkah aku tertular? Bagaimanapun juga, aku hampir menangkap nafasnya sebagaimana aku bersandar di sepanjang jendela ini..."
Semakin banyak dia berpikir mengenai hal itu, maka dia makin merasa takut bahwa dia telah sungguh-sungguh mengidap Dib-Dib yang mengerikan. Dalam beberapa saat seluruh anggota badannya telah gemetar. Dia pun kembali ke rumah, berjalan terhuyung-huyung kepada istrinya, mengerang dan merintih.
"Dib-Dib pertanda buruk, Bagaimana bisa menjadi suatu yang meragukan, bahwa Dib-Dib yang terkutuk telah mendapatkanku didalam genggamannya "
Istrinya merebahkannya di atas tempat tidur, dengan penuh perasaan takut. Sesuatu mengerikan apakah yang telah menyerang suaminya? Dia membayangkan pertama, bahwa dia tentu telah diserang dari atas oleh sesuatu binatang buas yang disebut Dib-Dib. Tetapi, sepertinya dia kehilangan hubungan yang masuk akal dan tetap tidak menemukan tanda-tanda atasnya, dia mulai takut bahwa hal itu suatu peristiwa yang terjadi atas campur tangan supranatural.
Orang yang dia tahu paling memenuhi syarat berkait dengan masalah-masalah serupa itu, sudah tentu orang suci setempat.
Dia diakui sebagai seorang tokoh agama, ahli hukum, dikenal sebagai Faqih yang bijak.
Perempuan itu segera pergi ke rumah orang bijak tersebut dan memintanya agar mau menengok suaminya. Sang Faqih, berpikir bahwa hal ini mungkin benar-benar menjadi suatu dasar didalam mana kesucian khususnya dapat dipergunakan, segera dia pergi ke sisi tempat tidur si pencuri.
Si pencuri, ketika dia melihat orang suci berada di sisinya, berpikir bahwa akhir (hidup)-nya pasti lebih dekat daripada rasa takutnya. Mengerahkan segala kekuatannya dia berkomat-kamit:
"Perempuan tua di ujung jalan, dia memiliki Dib-Dib terkutuk, dan telah menyambarku. Tolonglah aku, jika Anda bisa, Faqih yang mulia!"
"Anakku," kata Faqih, meski dia sendiri bingung, "Pikirkan dirimu sendiri atas penyesalan dan memohon rahmat, karena saat-saat yang tersisa mungkin benar-benar tinggal beberapa."
Dia meninggalkan si pencuri dan pergi ke pondok perempuan tua yang disebutkan. Memandang dengan tajam melalui jendela, dalam jarak tertentu dia mendengar suara rengekan sebagaimana ia menggeliat dan merasa ngeri:
"Dib-Dib busuk, kau membunuhku ... Hentikan, hentikan, Dib-Dib jahat, karena kau menguras darah kehidupanku..."
Dan dia melanjutkan untuk beberapa waktu dalam nada begitu, kadang terisak-isak dan kadang diam. Faqih sendiri sekarang mulai merasa seperti jika suatu udara dingin yang mengerikan melewatinya. Dia mulai gemetar dan tangannya mencengkeram kusen jendela, giginya gemeretuk.
Mendengar suara sedemikian, orang tua gila itu melompat dari tempat tidurnya dan menangkap Faqih yang ketakutan dengan tangannya.
"Apa yang kau kerjakan, laki-laki terhormat dan terpelajar, di tengah malam, mengintip orang baik-baik melalui jendela?" seru dia melengking.
"Baik, tetapi perempuan malang," suara si Faqih terputus-putus. "Aku mendengar engkau berbicara tentang Dib-Dib yang mengerikan, dan sekarang aku khawatir bahwa hal itu telah mencengkeram hatiku seperti mencengkeram milikmu, dan bahwa aku, secara-fisik dan spiritual, lenyap ..."
"Engkau luar biasa bodoh," lengking perempuan tua itu, "memikirkan bahwa untuk seluruh tahun-tahun tersebut, aku telah menghormatimu sebagai seorang alim dan bijak. Engkau mendengar orang berkata 'Dib-Dib' dan kau membayangkan bahwa hal itu akan membunuhmu! Lihat, nun di sudut sana, dan lihat apa Dib-Dib yang mengerikan itu sesungguhnya!"
Dan dia menunjuk kepada keran yang airnya menetes, yang mana sang Faqih segera menyadari bahwa kebocoran tersebut menimbulkan suara dib-dib-dib ...
Tetapi firasat (dari langit) memiliki daya pegas. Tidak lama kemudian dia telah merasa dirinya sendiri menjadi baik secara menakjubkan dan mampu mengatasi persoalan dirinya, dan segera kembali ke rumah pencuri, karena dia harus bekerja.
"Pergilah," gerutu si pencuri, "karena engkau telah meninggalkanku dalam keadaan membutuhkan, dan ketika melihat dengan wajah demikian tertekan menawarkan sedikit jaminan rnengenai keadaan masa depanku ... "
Si Faqih menyelanya:
"Orang hina yang tidak tahu terimakasih! Apakah kau pikir bahwa seorang lelaki yang memiliki kesalehan dan pengetahuan, akan meninggalkan suatu keadaan serupa ini tidak terselesaikan? Perhatikan, kemudian cermatilah kata-kata dan perbuatanku. Dan aku akan memperlihatkan kepadamu bagaimana aku telah bekerja tak kenal lelah, berkait dengan mandat dari langit, terhadap keselamatan dan 'penyembuhari'-mu."
Kata 'penyembuhari' dengan segera menjadi pusat perhatian pencuri dan istrinya atas kemuliaan yang mengesankan dari orang bijak tersebut.
Dia mengambil air dan mengucapkan kata-kata tertentu atasnya. Kemudian dia meminta si pencuri untuk tidak pernah mencuri lagi. Akhirnya, dia memercikkan air yang telah dipersiapkan di atas kepala pencuri dengan banyak kata-kata yang terdiri dari banyak suku kata dan sikap tubuh, berakhir dengan:
"Terbanglah, Dib-Dib yang menjijikkan dan jahanam, ke tempat asal kau pertama kali datang, jangan pernah kembali mengganggu orang yang malang ini!"
Si pencuri bangun dan sembuh.
Semenjak hari itu, pencuri tersebut tidak pernah mencuri lagi. Juga tidak pernah mengatakan kepada orang lain tentang penyembuhan yang menakjubkan itu, karena kendatipun demikian, dia tetap tidak menyukai orang bijak tersebut dan gagasan-gagasannya. Dan si perempuan tua, lazimnya sebuah gosip, tidak menyebarkan tentang tindakan bodoh si Faqih. Perempuan tua itu akhirnya bermaksud memetik manfaat secara baik; barangkali suatu kesempatan yang tepat akan muncul.
Dan, tentu saja si Faqih... baik, si Faqih tidak bermaksud menceritakan secara rinci peristiwa tersebut. Tetapi sebagaimana kebiasaan orang, masing-masing orang yang terlibat telah bercerita menurut versi mereka sendiri-sendiri, dalam keyakinan yang sempurna sudah tentu, kepada orang lain. Dan itulah sebabnya mengapa engkau dapat mengetahui 'seluruh' cerita tentang perempuan tua, pencuri, pemuka agama, dan Dib-Dib yang mengerikan.

PENCURI, PEMILIK TOKO DAN HUKUM

Seorang pencuri memasuki sebuah toko. Ketika dia berada didalam, sebuah bor yang tajam di atas sebuah papan yang ditinggalkan pemilik toko, menusuk matanya, dan membuatnya buta.
Si pencuri pergi kepada hakim, berkata: "Hukuman untuk pencurian adalah penjara, tetapi hukuman untuk suatu kelalaian yang menyebabkan rusak atau luka sebelah mata adalah sedapat mungkin ganti rugi."
"Dia telah datang untuk mencuri dariku," kata pemilik toko membela diri.
"Itu akan ditangani oleh pengadilan yang lain," kata hakim, "dan tidak berhubungan dengan kita di sini."
"Jika engkau mengambil semua milikku," kata si pencuri, "keluargaku akan menderita kelaparan sementara aku dalam penjara. Itu jelas tidak adil terhadap mereka."
"Maka aku akan memerintahkkan untuk mencopot sebelah mata pemilik toko sebagai pembalasan," kata sang Hakim.
"Tetapi jika kau melakukan itu," kata pemilik toko, "Aku akan kehilangan lebih banyak daripada si pencuri, dan hal itu tidak sebanding. Aku seorang ahli permata, dan kehilangan sebelah mata akan menghancurkan kemampuanku untuk bekerja."
"Sungguh baik," jawab sang hakim, "karena hukum harus adil, dan tanpa harus menderita lebih banyak daripada seharusnya, dan karena seluruh masyarakat bersama-sama menanggung dalam keuntungan dan kerugian dari beberapa anggotanya, bawa seorang yang hanya membutuhkan sebelah mata --seorang pemanah, misalnya -- dan ambil sebelah matanya yang lain."
Demikianlah yang terjadi.

TOLONG SAHABAT-SAHABATNYA ...

Tolong Sahabat-sahabatnya, apa pun cara berpakaian mereka! Suatu hari engkau akan mendengar: Aku telah miskin, dan engkau tidak menolong Aku. Orang-orang yang telah menolong Sahabat-sahabatku, telah menolong Aku."
Ibnu al-Arif al-Qadiri; (Kutipan dari Hadis Qudsi)

UPAH DAN PEKERJAAN

Seekor kuda bertemu seekor katak. Si kuda berkata: "Sampaikan pesan ini kepada seekor ular untukku, dan engkau dapat memiliki semua berkas-berkas yang mengelilingiku."
Si katak menjawab: "Aku mau upah, tetapi aku tidak dapat mengatakan bahwa aku dapat menyelesaikan pekerjaan itu."

TANAMAN

Pada pintu masuk rumah Abdul Qadir Gilani (al-Jilani) suatu hari terlihat setangkai bunga di dalam sebuah pot. Di bawahnya ada sebuah catatan: "Cium ini dan tebak apakah ini".
Masing-masing orang yang masuk telah diberi alat tulis dan telah diminta untuk menulis jawabannya, jika dia mau, untuk teka-teki kata tersebut.
Di akhir hari itu, Abdul Qadir membawa sebuah kotak berisi jawaban kepada seorang muridnya. Dia berkata:
"Setiap orang yang telah menjawab 'sekuntum mawar' boleh tinggal jika dia menginginkan untuk meneruskan pelajaran. Seseorang yang tidak menulis apa-apa, atau sesuatu yang lain dari 'sekuntum mawar', dipecat."
Seseorang bertanya, "Apakah tak dapat dihindarkan menggunakan cara-cara dangkal itu untuk memutuskan kecocokan bagi hal-hal bersangkutan dengan murid?"
Guru agung menjawab, "Aku tahu jawaban jawaban kalian, tetapi saya ingin memperlihatkan kepada semua yang lain, bahwa pernyataan-pernyataan yang dangkal, mengisyaratkan sifat-sifat batin." Dan dia segera setelah itu membawa kepada kelompoknya suatu daftar nama-nama dari masing-masing orang yang telah menulis 'sekuntum mawar'.
Hal ini menggambarkan suatu makna dari ungkapan, "Kewajaran merupakan mata rantai menuju Kebenaran." Apa yang telah dilihat Abdul Qadir 'di dalam' dapat diperlihatkan 'ke luar'. Dengan cara ini, dan untuk alasan ini, adalah suatu jenis tertentu dari tingkah laku yang diinginkan dari para muridnya.

PENYEBARAN BERKAH

Abdul Qadir memanggil bersama-sama semua pengikutnya di Baghdad dan berkata kepada mereka:
"Aku minta engkau tidak pernah melupakan apa yang akan aku katakan kepadamu sekarang, karena selain itu engkau akan menjadi sumber dari kesalahan besar. Aku tujukan orang-orang diantaramu yang akan tetap lebih banyak tidak peduli daripada orang lain, karena mereka Yang Lebih Tahu dan Para Pencapai tidak pernah membuat kesalahan yang akan aku gambarkan sekarang."
"Selama periode Tugas dan Pengulangan (pelajaran tertentu) banyak orang memperoleh kemampuan mempengaruhi orang lain dengan suatu pengalaman yang asing. Hal ini menyebabkan kecemasan, kegembiraan dan banyak perasaan-perasaan lain, dan mengisyaratkan suatu tahapan dari kesadaran. Hal itu bisa jadi pandangan dari para guru agung, atau pengaruh Ilahiah."
"Peran di atas 'hati' yang tidak dipersiapkan, pengalaman-pengalaman serupa itu dengan segera harus dihentikan, karena mereka tidak dapat maju kepada hubungan yang sesungguhnya dengan Ilahi sampai sesuatu yang lain terpelihara dalam diri murid."
"Pembukaan kemampuan ini sekali ditemukan oleh orang yang tidak bodoh atau mentah (tidak berpengalaman) menyebar khususnya diantara orang-orang desa dan orang-orang sederhana lainnya, sampai mereka memanjakannya secara teratur, memikirkannya untuk menjadi suatu keadaan yang sebenarnya. Ini sesungguhnya hanya sebuah tanda atas sesuatu. Apabila hal itu terjadi, hal itu harus dilaporkan, dan orang-orang yang mengalaminya hendaknya menjalani suatu periode yang tepat dari persiapan."
"Kegigihari di dalam praktek di masa lalu menjelaskan sepenuhnya kemampuan-kemampuan dari para pengikut orang-orang suci dan para Nabi, semua menipu mempercayai diri mereka sendiri menjadi penerima berkah. Orang-orang yang mencapai, berani menghadapi tidak mempengaruhi pernyataan ini sekali waktu muncul. Orang-orang yang memanjakannya mungkin tidak pernah Mencapai."
"Ikuti hanya praktek-praktek dari Guru, yang mengetahui mengapa hal-hal tersebut terjadi dan siapa yang oleh karena itu harus menyesuaikan untuk mempelajarinya." (media.isnet.org)

Selasa, 15 Oktober 2013

Al Hallaj: Martir Pertama Dalam Tasauf

Martir pertama dalam tasawuf

Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan mana yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut

al Ghazali: Kimia Kebahagiaan

KATA PENGANTAR

Ketahuilah, bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main atau sembarangan. Ia diciptakan dengan sebaik-baiknya dan demi suatu tujuan agung. Meskipun bukan merupakan bagian Yang Kekal, ia hidup selamanya; meski jasadnya rapuh dan membumi, ruhnya mulia dan bersifat ketuhanan. Ketika, dalam tempaan hidup zuhud, ia tersucikan dari nafsu jasmaniah, ia mencapai tingkat tertinggi; dan sebaliknya, dari menjadi budak nafsu angkara, ia memiliki sifat-sifat malaikat. Dengan mencapai tingkat ini, ia temukan surganya di dalam perenungan tentang Keindahan Abadi, dan tak lagi pada kenikmatan-kenikmatan badani. Kimia ruhaniah yang menghasilkan perubahan ini dalam dirinya, seperti kimia yang mengubah logam rendah menjadi emas, tak bisa dengan mudah ditemukan. Untuk menjelaskan kimia dan metode operasinya itulah maka pengarang menyusun karya yang diberi judul Kimia Kebahagiaan ini.
Khazanah-khazanah Tuhan yang mengandung kimia ini, ada pada hati para nabi. Siapa saja yang mencarinya di tempat lain akan kecewa dan bangkrut di hari kemudian, yakni ketika ia mendengar firman: "... Telah Kami angkat tirai itu darimu, dan pandanganmu pada hari ini sangatlah tajam." (QS 50:22)
Allah telah mengutus ke dunia ini seratus duapuluh empat nabi untuk mengajar manusia tentang resep kimia ini, dan bagaimana cara mensucikan hati mereka dari sifat-sifat rendah melalui tempaan zuhud. Kimia ini dapat secara ringkas diuraikan sebagai berpaling dari dunia untuk menghadap kepada Allah. Bagiannya ada empat. Pertama, pengetahuan tentang diri. Kedua, pengetahuan tentang Allah. Ketiga, pengetahuan tentang dunia ini sebagaimana adanya. Keempat, pengetahuan tentang akhirat sebagaimana adanya.
Marilah kita mulai memaparkan keempat bagian ini secara berurutan.

Senin, 14 Oktober 2013

Pengantar Ilmu Tasauf

Allah Swt berfirman: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka, apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu" (QS. Al A'raf: 172-173)


Ayat di atas dengan jelas mendeklarasikan, seluruh manusia pernah melihat dan berjumpa dengan Allah Swt. Bahkan berbicara kepada-Nya secara langsung. Pengalaman ini tertanam dalam sisi terdalam jiwa manusia, fitrah. Semuanya telah terpatri (built in) dalam bangunan diri setiap manusia, siapapun dia. Oleh karena itu, jika manusia di dunia ditanyakan siapa yang telah menciptakan langit dan bumi ini, secara spontan, sisi terdalam jiwa mereka itu akan menjawab: "Allah".

Dalam Al Quran, Allah Swt berfirman: "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah" (QS. Luqman: 25). Keindahan kebersamaan dan perjumpaan itu menjadi sesuatu yang terus mendorong mereka yang dianugerahkan berhati bersih, atau mereka yang kemudian dibukakan hatinya, untuk menggapainya kembali. Manusia, di dunia ini, berada dalam perpisahan sementara dan amat singkat, untuk kemudian kembali menghadap kepada-Nya. Atau dalam sabda Rasulullah Saw diungkapkan: Manusia di dunia ini tertidur, dan jika mati mereka baru terjaga. Tentang perjumpaan pada kesempatan pertama itu, Imam Abul 'Azaim bersenandung:
Sejak jaman "alastu" kami tak pernah melupakan * percakapan dan keindahan "Sang Indah" Gemerlapan. (Seperti dikutip oleh Syeikh Muhammad Ali Salamah, Ayyamullah, Cet. Strand al Haditsah, Cairo, 1985, hal. 17.)
Imam Ali k.w. pernah ditanya: Wahai amirul mu'minin, apakah Anda mengingat hari alastu birabbikum? Ia menjawab: "Ya, aku masih mengingatnya, dan aku mengingat siapa yang berada di samping kanan dan samping kiriku"!.
Pada suatu halaqah yang diadakan Al Muhasiby, seseorang bersenandung:
"Di negeri asing, ku tenggelam dalam tangisan
Seperti perantau yang kesepian
Dan kini ku menyadari
Sebaiknya, negeriku tak ku tinggalkan
Mengapa ku tinggalkan Tempat Sang Kekasih berada" (1)
Mendengar itu, Al Muhasiby segera berdiri dan terisak menangis, merindukan kampung halamannya yang abadi, yang disaksikan pada hari "alastu" itu.

Perjumpaan selanjutnya dengan Allah Swt akan terjadi dalam bentuk yang amat lain. Yaitu akan diikuti dengan perhitungan perbuatan selama perjalanan singkat di dunia ini. Apakah seseorang tetap ingat terhadap janjinya, atau malah kemudian dikalahkan sisi gelap dirinya: Nafsu yang melenakan dan melupakan serta selalu mengajak kepada keburukan; "Nafsu ammarah bissu". Hanya orang-orang yang selamat dari godaan itu dan membersihkan hatinya yang berhak kembali dengan selamat dan menikmati keindahan dan kebahagiaan yang pernah dirasakan itu. Dan Allah Swt akan menyambutkan dengan segala penyambutan: "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku" (QS. Al Fajr: 28-30).

Untuk melakukan perjalanan sementara itu, Allah Swt tidak membiarkan manusia dalam kebutaan dan kegelapan, tanpa petunjuk jalan dan orang yang menuntun mereka. Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul untuk melakukan tugas itu. Memberikan tuntunan kepada manusia agar dapat kembali dengan selamat, menuju kampung halaman mereka. Hal itu berkali-kali telah diungkapkan oleh Al Quran, dan oleh Rasulullah Saw; telah diutus sebelum beliau nabi-nabi dan rasul-rasul untuk melakukan tugas itu (2), meskipun dengan syari'ah yang berbeda (QS. Al Maidah: 48), namun untuk tujuan yang sama (QS. An Nahl: 36). Para rasul adalah cahaya yang memancar bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah Swt (3,4). Mercu suar bagi manusia, sehingga mereka tidak tersesat mengarungi lautan hidup ini. Dan menerangi hati mereka, sehingga hati mereka bersih, suci dan mencapai alam malakut. Melepaskan diri dari kebinatangan mereka, untuk menuju sifat fithrah mereka yang mulia. Makhluk yang mendapatkan percikan cahaya ruh dari Allah SWT (5).



Allah SWT berfirman tentang pengutusan Rasulullah Saw: "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab, Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata" (QS. Ali 'Imran: 164)
Dalam ayat di atas, secara eksplisit diungkapkan, selain menyampaikan ayat-ayat Allah, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah, beliau juga diutus untuk membersihkan jiwa manusia. Mensucikan ruh mereka kembali dari debu kemusyrikan, kekerasan hati, penyakit-penyakit ruhani dan sebagainya. Dengan sukses, tugas itu beliau laksanakan, sehingga merubah orang-orang Arab yang keras dan paganis, menjadi sahabat-sahabat beliau yang Rabbani. Membentuk sebuah masyarakat yang --meminjam istilah Akbar S. Ahmad --ideal. Mencetak tokoh-tokoh seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali k.w. Dengan ciri-ciri antara lain, keadilan Umar yang tiada tara, sifat pemalu Utsman, kecerdasan Ali yang demikian rupa, kezuhudan Abu Dzar yang tanpa tanding, keluasan ilmu pengetahuan Mu'adz dan seterusnya(6). Malah, lebih jauh lagi, mereka mampu mencapai derajat-derajat yang telah dicapai oleh nabi-nabi dari Bani Israil, kecuali tidak ada kenabian setelah Nabi Saw. Rasulullah Saw. bersabda: "Sahabat-sahabatku seperti nabi-nabi Bani Israil"!. Hal ini, dalam sebuah sya'ir diungkapkan:
"Dahulu kami hanyalah orang-orang bodoh nan hina-dina, dengan bimbingan Thaha (Saw), kami menjadi tokoh-tokoh mulia" (7)


Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda: "Kami para nabi-nabi tidak mewariskan apa-apa"(8). Dan pada hadits yang lain, Rasulullah Saw bersabda pula: "para ulama adalah pewaris nabi-nabi" (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dalam sahihnya dari hadits Abi Darda). Menyaksikan dua hadits ini, seakan ada kontradiksi dalam dua sabda beliau itu. Namun, jika kita teliti lebih mendalam, kita temukan sebuah pengertian; para nabi tidak mewarisi harta duniawi, tetapi mereka mewarisi risalah kenabian, dan para ulama-lah para pewaris itu. Rasulullah Saw. telah mencetak sahabat-sahabat beliau sebagai pemegang warisan risalah itu. Sehingga, ketika beliau meninggalkan dunia ini, menuju kampung halaman yang abadi di sisi Allah SWT, telah terbina sahabat-sahabat yang handal, dan menguasai tugas sebagai penyambung risalah itu, yaitu menyebarkan ilmu pengetahuan dan cahaya Ilahiyah. Ciri pengetahuan mereka amat khas, yaitu penguasaan literer dengan baik terhadap nash-nash yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. serta kehalusan ruhani yang tinggi pula. Misalnya, tentang Abu Bakar r.a. Rasulullah Saw bersabda, keutamaan Abu Bakar r.a. bukanlah karena banyaknya puasa yang ia lakukan, juga bukan karena banyaknya salat, meriwayatkan hadits, berfatwa atau berbicara, namun karena sesuatu yang tertanam dalam hatinya (Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi Al Hakim dalam Nawadir dari perkataan Abi Bakar bin Abdillah al Mazini. Tetapi Al Iraqi tidak mendapatkan redaksi ini sebagai hadits marfu').

Ulama atau fuqaha, pada masa kaum salaf, menurut Al Ghazali, adalah mereka yang menguasai ilmu-ilmu syari'ah secara literer, juga mereka yang menguasai ilmu akhirat atau ruhani(9). Ketika Sa'd bin Ibrahim ditanya: Siapa penduduk Madinah yang paling faqih? beliau menjawab: "Orang yang paling bertakwa kepada Allah Swt". Jawaban tersebut --menurut Al Ghazali--menunjukkan, kefaqihan seseorang ditentukan oleh pengetahuannya akan ilmu-ilmu akhirat dan rahasia kedalaman hati, apa yang merusak amal perbuatan, pengetahuan akan hinanya dunia, keinginan yang menggebu untuk mencapai akhirat dan mempunyai ketakutan yang tinggi kepada Allah Swt di dalam hatinya.



Dan hal itu tampak terwujudkan dalam diri fuqaha Islam generasi pertama, para sahabat, tabi'in dan imam-imam mazhab. Namun, menurut Al Ghazali, pada masa-masa selanjutnya, istilah ini berubah menjadi bentuk yang lain. Hingga hanya terbatas pada masalah-masalah hukum, fatwa dan kemampuan menghapal pendapat-pendapat tentang suatu masalah hukum.
Pada perkembangan selanjutnya, terutama ketika fiqih telah dikodifikasikan dan tidak ada tempat bagi ilmu ruhani tersebut dalam bab-bab fiqih itu, demikian juga hadits, tafsir dan ilmu-ilmu lainnya, dan masing-masing ilmu tersebut telah membentuk suatu konsep keilmuan tersendiri, maka para ulama yang mempunyai tanggungjawab terhadap warisan ruhaniah dari Rasulullah Saw tersebut, juga mengambil kebijaksaan yang sama: membentuk suatu konsep tersendiri tentang ilmu mereka.
Di kemudian hari, ilmu itu mereka namakan tasawwuf.

Catatan:

1. "Di negeri asing, ku tenggelam dalam tangisan Seperti perantau yang kesepian Dan kini ku menyadari Sebaiknya, negeriku tak ku tinggalkan Mengapa ku tinggalkan Tempat Sang Kekasih berada." Lihat Abi Abdirrahman As-Sulami, Thabaqat Shufiyah, Mathabi' Sya'b, tahun 1380 H., halaman: 17, dan Abu Al Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad bin Aly Al Anshary Asy-Syafi'i al Mashry, (Asy-Sya'rani), Thabaqat al Kubra, Darul Jail, Bairut, 1408 H/1988M, Juz I, hal. 75.
2. Lihat: QS. Al Baqarah: 87, 253; Ali Imran: 144, 183, 184; An Nisa: 165 dst.
3. Lihat: QS. Al Maidah: 15, dan ayat-ayat sejenisnya..
4. Tentang hal ini, dapat dibaca lebih lanjut pada: Syeikh Muhammad Madli Abul Aza'im, Islam dinullah wa fithratuhu 'l lati fathara 'n nasa 'alaiha, Dar Madinah Munawwarah, cet.II, 1401 H/1980 M, hal. 79 dst.
5. Lihat: QS. Al Hajar: 29, dan ayat-ayat sejenisnya.
6. Lihat: Syekh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Nafahat Min Nur Al Quran, Juz 1, Strand Al Haditsah, 1994, Cairo, hal:30.
7. "Dahulu kami hanyalah orang-orang bodoh nan hina-dina, dengan bimbingan Thaha (Saw), kami menjadi tokoh-tokoh mulia". Lihat catatan di atas.
8. Berdasarkan hadits ini, maka Abu Bakar r.a. tidak memberikan tanah Fadak kepada Fathimah r.a., karena dengan demikian berarti, secara otomatis harta Rasulullah Saw menjadi milik umat.
9. Lihat, Imam Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 1, Darul Hadits, Cairo,1992, hal. 57
(Selanjutnya)


















Tasauf Dapat Membuat Perilaku Orang Menjadi Lebih Baik

Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An Nisaa'(4):69)
Bagi orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawwuf atau Sufi tentu akan merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk menjauhi atau enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal ini serupa dengan awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.: "Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing (orang-orang Islam)." HR. Muslim dari Abi Hurairah.
Kaum Sufi bukanlah sekelompok aliran bid'ah yang ajarannya masih saja diperdebatkan, namun dalam memahami Ilmu kesufian hati perlu benar-benar bersih dan jeli untuk menangkap doktrin-doktrin yang diajarkan dalam sufi itu sendiri dengan catatan tidak melenceng dari Islam. Tanpa didampingi ilmu sebagai manusia terlalu gampang untuk mencoreng, mencela dan berprasangka buruk terhadap sesama. Dalam sebuah hadits Nabi Saw.: "Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta." HR. Bukhari & Muslim.
Ilmu kesufian atau Ilmu Tasawwuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur'an dan Hadits dengan tujuan utamanya amar ma'ruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat Nabi Saw. tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada, namun nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh dan lain sebagainya. Barulah pada tahun 150 H atau abad ke-8 M Ilmu Sufi atau Ilmu Tasawwuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang bersifat Keruhanian. Kontribusi Ilmu Tasawwuf ini banyak dibukukan oleh kalangan orang-orang Sufi sendiri seperti Hasan al-Basri, Abu Hasyim Shufi al-Kufi, al-Hallaj bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa'id ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-Darani, Abu Hafs al-Haddad, Sahl at-Tustari, al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir al-Haris, as-Suhrawardi, Ain Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga kini terus berkembang.
Dalam praktek realisasi ilmu Sufi khusunya tempo dulu, mutasawwif (orang Sufi) memerlukan adaptasi yang amat sangat. Hal ini agar mampu untuk menarik orang-orang yang belum masuk muslim dengan jalan tanpa kekerasan dan paksaan, dengan kata lain berdakwah yang tidak keluar dari tujuan utama yang membuktikan akan cintanya kepada Maha Pencipta yakni Allah SWT. Disisi lain orang-orang sufi menjauhkan diri dari hal keduniaan yang dapat menghijab antara hamba-Nya dengan Allah Swt dalam beribadah. Disinilah Sufi mulai mengembangkan metode-metode bagaimana cara untuk membersihkan jiwa, pembinaan lahir batin, berdzikir, mendekatkan diri pada Allah, membangun jiwa mulia dalam mengenal Allah atau ber-ma'rifat, selain itu berintrospeksi diri siapa diri ini sebenarnya, sesuai dengan hadits Nabi Saw. "Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbahu" (Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya)".
Jelas bahwa Ilmu Tasawwuf dan Sufi adalah merupakan salah satu ilmu dalam Agama Islam yang sangat halus dan mendalam yang mampu menembus alam batin serta sulit sekali untuk di ilmiahkan dan diterangkan secara kongkrit. Hal ini bukan berarti tidak dapat dibuktikan secara ilmiah namun seseorang yang memiliki kebersihan hati dan kecerdasan yang luar biasa yang mampu mecahkannya. Sebab "Al-Islaamu 'ilmiyyun wa 'amaliyyun" (Islam adalah ilmiah dan amaliah) HR. Bukhari. Karena halusanya ilmu ini persoalan-persoalan didalamnya bagi orang awam dapat menimbulkan khilafiyah (perbedaan) dan pertentangan-pertentangan. Tapi inilah keindahan Islam berlomba dalam kebaikan selama tidak menyimpang dari aturan Islam.
Dalam kitab Ta'yad Al-Haqiqtul 'Aliyya hal. 57, salah seorang ulama Fiqh dan Ahli Tafsir Jalaluddin as-Suyuti mengatakan: "Tasawwuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid'ah". Sedangkan Al-Junaid seorang pimpinan tokoh Sufi Mazhab Moderat yang berasal dari Baghdad menyatakan tentang ilmu kesufian dalam syairnya: "Ilmu Sufi (Tasawwuf) adalah benar-benar ilmu, yang tidak seorang pun dapat memperolehnya; Kecuali dia yang dikarunia kecerdasan alami, dan berbakat untuk memahaminya. Tak seorang pun dapat berpura menjadi Sufi, kecuali dia yang melihat rahasia nuraninya."
Ilmu Tasawwuf dan Sufi adakalanya orang mencap sebagai ilmu kolot, ketinggalan jaman, usang, out of date, bahkan disebut aneh. Akan tetapi di balik itu semua bahwa Ilmu Tasawwuf memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa untuk lebih mengenal Tuhan serta membangun mental dan akhlak yang mulia. Yang perlu diperhatikan kenapa orang dapat menjadi sesat dan madlarat dalam mempelajari dan mengamalkan Ilmu Tasawwuf. Sehingga ia menjadi orang yang apatis atau mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat dan keluarga, meninggalkan keduniaan yang padahal di dunia ini adalah sebagai ladang amal dalam berbuat kebajikan untuk bekal di hari kemudian. Hal demikian dapat terjadi kesesatan pada diri seseorang dengan mempelajari ilmu Tasawwuf tetapi tanpa didampingi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) dan Ilmu Fiqh.
Menurut Imam Malik ra. (94-179 H/716-795 M) menyatakan: "Man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawwuf tanpa fiqh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqh tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawwuf dan fiqh dia meraih kebenaran)." Dengan demikian bahwa Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat dipisahkan, dan tidak untuk diabaikan dimana keduanya sama-sama penting suatu perpaduan antara akal dan hati.
Jadi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) atau Ilmu Tauhid, bahwa Allah SWT. itu ada dan mempercayainya sebagai Tuhan yang wajib disembah. Ilmu Kalam ini adalah Ilmu pokok-pokok kepercayaan dalam Agma Islam. Selain itu pula untuk menghindari dari kemusyrikan serta memperkuat akan Tauhidullah sebagai Esensi Aqidah Islam. Ilmu Fiqh, pemahaman tentang syariat-syariat Islam berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah yang merupakan lautan ilmu yang meluas secara horizontal. Sedangkan dalam Ilmu Tasawwuf adalah mengatur kesempurnaan hubungan dengan Allah dan juga sebagai ilmu yang mampu menembus vertikal kedalam. Dengan mempelajari ketiganya maka akan kuatlah Iman, Islam dan Ihsan kita yang merupakan kesempurnaan dalam Islam, sebagai wujud mempelajari Ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawwuf.
Cintanya orang orang-orang Sufi terhadap Tuhan, bagi mereka adalah suatu kenikmatan tersendiri dalam bertasawwuf, cara ini mampu membersihkan jiwa akan penyakit-penyakit hati (bathiniyah). Tapi penyelewengan dalam dunia Sufi pun dapat saja terjadi seperti halnya al-Hallaj yang mengakuinya dirinya sebagai Allah, dengan teorinya wahdat al-wujud atau pantheisme (Penyatuan Wujud) dan teori al-Hulul atau penitisan (Penjelmaan Tuhan dalam diri Manusia). Perkataan dan perbuatan al-Hallaj ini membuat marah para ahli Kalam (Tauhid), Fiqh dan masyarakat Islam, sehingga ia di hukum mati pada tahun 309 H. Di Indonesia dulu terjadi penyimpangan oleh seorang Waliyullah yaitu Syeikh Siti Jennar yang mirip dengan teori al-Hallaj, ia di hukum mati oleh mahkamah para Wali di Jawa. Namun hanya Allah-lah Yang Maha Tahu akan maksud dan hati seseorang.
**
Keunggulan umat Islam salah satunya adalah Ilmu Tasawwuf ini. Dengan bertasawwuf yang merupakan suatu kekuatan batin untuk mempertebal iman, tauhid, ladang amal, pembersih jiwa, serta untuk memperkuat Ihsan suatu cara untuk lebih mengenal Allah dan mencari keridloan-Nya semata maka secara otomatis akan meningkatkan akhlakul kariimah (Akhlak yang Mulia).
Menurut Prof. DR. Hamka bahwa: "Tasawwuf Islam telah timbul sejak timbulnya Agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad Saw. Disauk airnya dari Qur'an sendiri". (Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad). Adapun ciri dari Sufi menurut Imam Nawawi (620-676 H/1223-1278 M) dalam suratnya al-Maqasid at-Tawhid ada lima ciri jalan sufi atau bertasawwuf yaitu: (1) menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri, (2) mengikuti Sunah Rasullaah Saw. dengan perbuatan dan kata, (3) menghindari ketergantungan kepada orang lain, (4) bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, (5) selalu merujuk masalah kepada Allah swt.
Oleh Karena itu Ilmu Tasawwuf khususnya di Indonesia haruslah mendapat perhatian penuh dari para alim ulama, sarjana, dan para cendekiawan muslim lainnya untuk dapat penyelidikan dan pengupasan secara luas dalam bidang Tasawwuf, untuk menciptakan mental yang Islami dan pemahaman spriritual dalam Islam untuk menjauhkan dari sifat-sifat tercela dan munafik. Sekali lagi bahwa Islam adalah agama Rahmatan lil'aalamiin.******
*) Penulis adalah Alumni Universitas Langlangbuana Bandung (Yayasan Brata Bhakti POLRI Jawa Barat).