Amazon Books

Selasa, 15 Oktober 2013

Al Hallaj: Martir Pertama Dalam Tasauf

Martir pertama dalam tasawuf

Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan mana yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut

al Ghazali: Kimia Kebahagiaan

KATA PENGANTAR

Ketahuilah, bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main atau sembarangan. Ia diciptakan dengan sebaik-baiknya dan demi suatu tujuan agung. Meskipun bukan merupakan bagian Yang Kekal, ia hidup selamanya; meski jasadnya rapuh dan membumi, ruhnya mulia dan bersifat ketuhanan. Ketika, dalam tempaan hidup zuhud, ia tersucikan dari nafsu jasmaniah, ia mencapai tingkat tertinggi; dan sebaliknya, dari menjadi budak nafsu angkara, ia memiliki sifat-sifat malaikat. Dengan mencapai tingkat ini, ia temukan surganya di dalam perenungan tentang Keindahan Abadi, dan tak lagi pada kenikmatan-kenikmatan badani. Kimia ruhaniah yang menghasilkan perubahan ini dalam dirinya, seperti kimia yang mengubah logam rendah menjadi emas, tak bisa dengan mudah ditemukan. Untuk menjelaskan kimia dan metode operasinya itulah maka pengarang menyusun karya yang diberi judul Kimia Kebahagiaan ini.
Khazanah-khazanah Tuhan yang mengandung kimia ini, ada pada hati para nabi. Siapa saja yang mencarinya di tempat lain akan kecewa dan bangkrut di hari kemudian, yakni ketika ia mendengar firman: "... Telah Kami angkat tirai itu darimu, dan pandanganmu pada hari ini sangatlah tajam." (QS 50:22)
Allah telah mengutus ke dunia ini seratus duapuluh empat nabi untuk mengajar manusia tentang resep kimia ini, dan bagaimana cara mensucikan hati mereka dari sifat-sifat rendah melalui tempaan zuhud. Kimia ini dapat secara ringkas diuraikan sebagai berpaling dari dunia untuk menghadap kepada Allah. Bagiannya ada empat. Pertama, pengetahuan tentang diri. Kedua, pengetahuan tentang Allah. Ketiga, pengetahuan tentang dunia ini sebagaimana adanya. Keempat, pengetahuan tentang akhirat sebagaimana adanya.
Marilah kita mulai memaparkan keempat bagian ini secara berurutan.

Senin, 14 Oktober 2013

Pengantar Ilmu Tasauf

Allah Swt berfirman: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka, apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu" (QS. Al A'raf: 172-173)


Ayat di atas dengan jelas mendeklarasikan, seluruh manusia pernah melihat dan berjumpa dengan Allah Swt. Bahkan berbicara kepada-Nya secara langsung. Pengalaman ini tertanam dalam sisi terdalam jiwa manusia, fitrah. Semuanya telah terpatri (built in) dalam bangunan diri setiap manusia, siapapun dia. Oleh karena itu, jika manusia di dunia ditanyakan siapa yang telah menciptakan langit dan bumi ini, secara spontan, sisi terdalam jiwa mereka itu akan menjawab: "Allah".

Dalam Al Quran, Allah Swt berfirman: "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah" (QS. Luqman: 25). Keindahan kebersamaan dan perjumpaan itu menjadi sesuatu yang terus mendorong mereka yang dianugerahkan berhati bersih, atau mereka yang kemudian dibukakan hatinya, untuk menggapainya kembali. Manusia, di dunia ini, berada dalam perpisahan sementara dan amat singkat, untuk kemudian kembali menghadap kepada-Nya. Atau dalam sabda Rasulullah Saw diungkapkan: Manusia di dunia ini tertidur, dan jika mati mereka baru terjaga. Tentang perjumpaan pada kesempatan pertama itu, Imam Abul 'Azaim bersenandung:
Sejak jaman "alastu" kami tak pernah melupakan * percakapan dan keindahan "Sang Indah" Gemerlapan. (Seperti dikutip oleh Syeikh Muhammad Ali Salamah, Ayyamullah, Cet. Strand al Haditsah, Cairo, 1985, hal. 17.)
Imam Ali k.w. pernah ditanya: Wahai amirul mu'minin, apakah Anda mengingat hari alastu birabbikum? Ia menjawab: "Ya, aku masih mengingatnya, dan aku mengingat siapa yang berada di samping kanan dan samping kiriku"!.
Pada suatu halaqah yang diadakan Al Muhasiby, seseorang bersenandung:
"Di negeri asing, ku tenggelam dalam tangisan
Seperti perantau yang kesepian
Dan kini ku menyadari
Sebaiknya, negeriku tak ku tinggalkan
Mengapa ku tinggalkan Tempat Sang Kekasih berada" (1)
Mendengar itu, Al Muhasiby segera berdiri dan terisak menangis, merindukan kampung halamannya yang abadi, yang disaksikan pada hari "alastu" itu.

Perjumpaan selanjutnya dengan Allah Swt akan terjadi dalam bentuk yang amat lain. Yaitu akan diikuti dengan perhitungan perbuatan selama perjalanan singkat di dunia ini. Apakah seseorang tetap ingat terhadap janjinya, atau malah kemudian dikalahkan sisi gelap dirinya: Nafsu yang melenakan dan melupakan serta selalu mengajak kepada keburukan; "Nafsu ammarah bissu". Hanya orang-orang yang selamat dari godaan itu dan membersihkan hatinya yang berhak kembali dengan selamat dan menikmati keindahan dan kebahagiaan yang pernah dirasakan itu. Dan Allah Swt akan menyambutkan dengan segala penyambutan: "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku" (QS. Al Fajr: 28-30).

Untuk melakukan perjalanan sementara itu, Allah Swt tidak membiarkan manusia dalam kebutaan dan kegelapan, tanpa petunjuk jalan dan orang yang menuntun mereka. Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul untuk melakukan tugas itu. Memberikan tuntunan kepada manusia agar dapat kembali dengan selamat, menuju kampung halaman mereka. Hal itu berkali-kali telah diungkapkan oleh Al Quran, dan oleh Rasulullah Saw; telah diutus sebelum beliau nabi-nabi dan rasul-rasul untuk melakukan tugas itu (2), meskipun dengan syari'ah yang berbeda (QS. Al Maidah: 48), namun untuk tujuan yang sama (QS. An Nahl: 36). Para rasul adalah cahaya yang memancar bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah Swt (3,4). Mercu suar bagi manusia, sehingga mereka tidak tersesat mengarungi lautan hidup ini. Dan menerangi hati mereka, sehingga hati mereka bersih, suci dan mencapai alam malakut. Melepaskan diri dari kebinatangan mereka, untuk menuju sifat fithrah mereka yang mulia. Makhluk yang mendapatkan percikan cahaya ruh dari Allah SWT (5).



Allah SWT berfirman tentang pengutusan Rasulullah Saw: "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab, Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata" (QS. Ali 'Imran: 164)
Dalam ayat di atas, secara eksplisit diungkapkan, selain menyampaikan ayat-ayat Allah, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah, beliau juga diutus untuk membersihkan jiwa manusia. Mensucikan ruh mereka kembali dari debu kemusyrikan, kekerasan hati, penyakit-penyakit ruhani dan sebagainya. Dengan sukses, tugas itu beliau laksanakan, sehingga merubah orang-orang Arab yang keras dan paganis, menjadi sahabat-sahabat beliau yang Rabbani. Membentuk sebuah masyarakat yang --meminjam istilah Akbar S. Ahmad --ideal. Mencetak tokoh-tokoh seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali k.w. Dengan ciri-ciri antara lain, keadilan Umar yang tiada tara, sifat pemalu Utsman, kecerdasan Ali yang demikian rupa, kezuhudan Abu Dzar yang tanpa tanding, keluasan ilmu pengetahuan Mu'adz dan seterusnya(6). Malah, lebih jauh lagi, mereka mampu mencapai derajat-derajat yang telah dicapai oleh nabi-nabi dari Bani Israil, kecuali tidak ada kenabian setelah Nabi Saw. Rasulullah Saw. bersabda: "Sahabat-sahabatku seperti nabi-nabi Bani Israil"!. Hal ini, dalam sebuah sya'ir diungkapkan:
"Dahulu kami hanyalah orang-orang bodoh nan hina-dina, dengan bimbingan Thaha (Saw), kami menjadi tokoh-tokoh mulia" (7)


Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda: "Kami para nabi-nabi tidak mewariskan apa-apa"(8). Dan pada hadits yang lain, Rasulullah Saw bersabda pula: "para ulama adalah pewaris nabi-nabi" (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dalam sahihnya dari hadits Abi Darda). Menyaksikan dua hadits ini, seakan ada kontradiksi dalam dua sabda beliau itu. Namun, jika kita teliti lebih mendalam, kita temukan sebuah pengertian; para nabi tidak mewarisi harta duniawi, tetapi mereka mewarisi risalah kenabian, dan para ulama-lah para pewaris itu. Rasulullah Saw. telah mencetak sahabat-sahabat beliau sebagai pemegang warisan risalah itu. Sehingga, ketika beliau meninggalkan dunia ini, menuju kampung halaman yang abadi di sisi Allah SWT, telah terbina sahabat-sahabat yang handal, dan menguasai tugas sebagai penyambung risalah itu, yaitu menyebarkan ilmu pengetahuan dan cahaya Ilahiyah. Ciri pengetahuan mereka amat khas, yaitu penguasaan literer dengan baik terhadap nash-nash yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. serta kehalusan ruhani yang tinggi pula. Misalnya, tentang Abu Bakar r.a. Rasulullah Saw bersabda, keutamaan Abu Bakar r.a. bukanlah karena banyaknya puasa yang ia lakukan, juga bukan karena banyaknya salat, meriwayatkan hadits, berfatwa atau berbicara, namun karena sesuatu yang tertanam dalam hatinya (Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi Al Hakim dalam Nawadir dari perkataan Abi Bakar bin Abdillah al Mazini. Tetapi Al Iraqi tidak mendapatkan redaksi ini sebagai hadits marfu').

Ulama atau fuqaha, pada masa kaum salaf, menurut Al Ghazali, adalah mereka yang menguasai ilmu-ilmu syari'ah secara literer, juga mereka yang menguasai ilmu akhirat atau ruhani(9). Ketika Sa'd bin Ibrahim ditanya: Siapa penduduk Madinah yang paling faqih? beliau menjawab: "Orang yang paling bertakwa kepada Allah Swt". Jawaban tersebut --menurut Al Ghazali--menunjukkan, kefaqihan seseorang ditentukan oleh pengetahuannya akan ilmu-ilmu akhirat dan rahasia kedalaman hati, apa yang merusak amal perbuatan, pengetahuan akan hinanya dunia, keinginan yang menggebu untuk mencapai akhirat dan mempunyai ketakutan yang tinggi kepada Allah Swt di dalam hatinya.



Dan hal itu tampak terwujudkan dalam diri fuqaha Islam generasi pertama, para sahabat, tabi'in dan imam-imam mazhab. Namun, menurut Al Ghazali, pada masa-masa selanjutnya, istilah ini berubah menjadi bentuk yang lain. Hingga hanya terbatas pada masalah-masalah hukum, fatwa dan kemampuan menghapal pendapat-pendapat tentang suatu masalah hukum.
Pada perkembangan selanjutnya, terutama ketika fiqih telah dikodifikasikan dan tidak ada tempat bagi ilmu ruhani tersebut dalam bab-bab fiqih itu, demikian juga hadits, tafsir dan ilmu-ilmu lainnya, dan masing-masing ilmu tersebut telah membentuk suatu konsep keilmuan tersendiri, maka para ulama yang mempunyai tanggungjawab terhadap warisan ruhaniah dari Rasulullah Saw tersebut, juga mengambil kebijaksaan yang sama: membentuk suatu konsep tersendiri tentang ilmu mereka.
Di kemudian hari, ilmu itu mereka namakan tasawwuf.

Catatan:

1. "Di negeri asing, ku tenggelam dalam tangisan Seperti perantau yang kesepian Dan kini ku menyadari Sebaiknya, negeriku tak ku tinggalkan Mengapa ku tinggalkan Tempat Sang Kekasih berada." Lihat Abi Abdirrahman As-Sulami, Thabaqat Shufiyah, Mathabi' Sya'b, tahun 1380 H., halaman: 17, dan Abu Al Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad bin Aly Al Anshary Asy-Syafi'i al Mashry, (Asy-Sya'rani), Thabaqat al Kubra, Darul Jail, Bairut, 1408 H/1988M, Juz I, hal. 75.
2. Lihat: QS. Al Baqarah: 87, 253; Ali Imran: 144, 183, 184; An Nisa: 165 dst.
3. Lihat: QS. Al Maidah: 15, dan ayat-ayat sejenisnya..
4. Tentang hal ini, dapat dibaca lebih lanjut pada: Syeikh Muhammad Madli Abul Aza'im, Islam dinullah wa fithratuhu 'l lati fathara 'n nasa 'alaiha, Dar Madinah Munawwarah, cet.II, 1401 H/1980 M, hal. 79 dst.
5. Lihat: QS. Al Hajar: 29, dan ayat-ayat sejenisnya.
6. Lihat: Syekh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Nafahat Min Nur Al Quran, Juz 1, Strand Al Haditsah, 1994, Cairo, hal:30.
7. "Dahulu kami hanyalah orang-orang bodoh nan hina-dina, dengan bimbingan Thaha (Saw), kami menjadi tokoh-tokoh mulia". Lihat catatan di atas.
8. Berdasarkan hadits ini, maka Abu Bakar r.a. tidak memberikan tanah Fadak kepada Fathimah r.a., karena dengan demikian berarti, secara otomatis harta Rasulullah Saw menjadi milik umat.
9. Lihat, Imam Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 1, Darul Hadits, Cairo,1992, hal. 57
(Selanjutnya)


















Tasauf Dapat Membuat Perilaku Orang Menjadi Lebih Baik

Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An Nisaa'(4):69)
Bagi orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawwuf atau Sufi tentu akan merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk menjauhi atau enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal ini serupa dengan awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.: "Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing (orang-orang Islam)." HR. Muslim dari Abi Hurairah.
Kaum Sufi bukanlah sekelompok aliran bid'ah yang ajarannya masih saja diperdebatkan, namun dalam memahami Ilmu kesufian hati perlu benar-benar bersih dan jeli untuk menangkap doktrin-doktrin yang diajarkan dalam sufi itu sendiri dengan catatan tidak melenceng dari Islam. Tanpa didampingi ilmu sebagai manusia terlalu gampang untuk mencoreng, mencela dan berprasangka buruk terhadap sesama. Dalam sebuah hadits Nabi Saw.: "Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta." HR. Bukhari & Muslim.
Ilmu kesufian atau Ilmu Tasawwuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur'an dan Hadits dengan tujuan utamanya amar ma'ruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat Nabi Saw. tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada, namun nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh dan lain sebagainya. Barulah pada tahun 150 H atau abad ke-8 M Ilmu Sufi atau Ilmu Tasawwuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang bersifat Keruhanian. Kontribusi Ilmu Tasawwuf ini banyak dibukukan oleh kalangan orang-orang Sufi sendiri seperti Hasan al-Basri, Abu Hasyim Shufi al-Kufi, al-Hallaj bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa'id ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-Darani, Abu Hafs al-Haddad, Sahl at-Tustari, al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir al-Haris, as-Suhrawardi, Ain Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga kini terus berkembang.
Dalam praktek realisasi ilmu Sufi khusunya tempo dulu, mutasawwif (orang Sufi) memerlukan adaptasi yang amat sangat. Hal ini agar mampu untuk menarik orang-orang yang belum masuk muslim dengan jalan tanpa kekerasan dan paksaan, dengan kata lain berdakwah yang tidak keluar dari tujuan utama yang membuktikan akan cintanya kepada Maha Pencipta yakni Allah SWT. Disisi lain orang-orang sufi menjauhkan diri dari hal keduniaan yang dapat menghijab antara hamba-Nya dengan Allah Swt dalam beribadah. Disinilah Sufi mulai mengembangkan metode-metode bagaimana cara untuk membersihkan jiwa, pembinaan lahir batin, berdzikir, mendekatkan diri pada Allah, membangun jiwa mulia dalam mengenal Allah atau ber-ma'rifat, selain itu berintrospeksi diri siapa diri ini sebenarnya, sesuai dengan hadits Nabi Saw. "Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbahu" (Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya)".
Jelas bahwa Ilmu Tasawwuf dan Sufi adalah merupakan salah satu ilmu dalam Agama Islam yang sangat halus dan mendalam yang mampu menembus alam batin serta sulit sekali untuk di ilmiahkan dan diterangkan secara kongkrit. Hal ini bukan berarti tidak dapat dibuktikan secara ilmiah namun seseorang yang memiliki kebersihan hati dan kecerdasan yang luar biasa yang mampu mecahkannya. Sebab "Al-Islaamu 'ilmiyyun wa 'amaliyyun" (Islam adalah ilmiah dan amaliah) HR. Bukhari. Karena halusanya ilmu ini persoalan-persoalan didalamnya bagi orang awam dapat menimbulkan khilafiyah (perbedaan) dan pertentangan-pertentangan. Tapi inilah keindahan Islam berlomba dalam kebaikan selama tidak menyimpang dari aturan Islam.
Dalam kitab Ta'yad Al-Haqiqtul 'Aliyya hal. 57, salah seorang ulama Fiqh dan Ahli Tafsir Jalaluddin as-Suyuti mengatakan: "Tasawwuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid'ah". Sedangkan Al-Junaid seorang pimpinan tokoh Sufi Mazhab Moderat yang berasal dari Baghdad menyatakan tentang ilmu kesufian dalam syairnya: "Ilmu Sufi (Tasawwuf) adalah benar-benar ilmu, yang tidak seorang pun dapat memperolehnya; Kecuali dia yang dikarunia kecerdasan alami, dan berbakat untuk memahaminya. Tak seorang pun dapat berpura menjadi Sufi, kecuali dia yang melihat rahasia nuraninya."
Ilmu Tasawwuf dan Sufi adakalanya orang mencap sebagai ilmu kolot, ketinggalan jaman, usang, out of date, bahkan disebut aneh. Akan tetapi di balik itu semua bahwa Ilmu Tasawwuf memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa untuk lebih mengenal Tuhan serta membangun mental dan akhlak yang mulia. Yang perlu diperhatikan kenapa orang dapat menjadi sesat dan madlarat dalam mempelajari dan mengamalkan Ilmu Tasawwuf. Sehingga ia menjadi orang yang apatis atau mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat dan keluarga, meninggalkan keduniaan yang padahal di dunia ini adalah sebagai ladang amal dalam berbuat kebajikan untuk bekal di hari kemudian. Hal demikian dapat terjadi kesesatan pada diri seseorang dengan mempelajari ilmu Tasawwuf tetapi tanpa didampingi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) dan Ilmu Fiqh.
Menurut Imam Malik ra. (94-179 H/716-795 M) menyatakan: "Man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawwuf tanpa fiqh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqh tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawwuf dan fiqh dia meraih kebenaran)." Dengan demikian bahwa Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat dipisahkan, dan tidak untuk diabaikan dimana keduanya sama-sama penting suatu perpaduan antara akal dan hati.
Jadi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) atau Ilmu Tauhid, bahwa Allah SWT. itu ada dan mempercayainya sebagai Tuhan yang wajib disembah. Ilmu Kalam ini adalah Ilmu pokok-pokok kepercayaan dalam Agma Islam. Selain itu pula untuk menghindari dari kemusyrikan serta memperkuat akan Tauhidullah sebagai Esensi Aqidah Islam. Ilmu Fiqh, pemahaman tentang syariat-syariat Islam berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah yang merupakan lautan ilmu yang meluas secara horizontal. Sedangkan dalam Ilmu Tasawwuf adalah mengatur kesempurnaan hubungan dengan Allah dan juga sebagai ilmu yang mampu menembus vertikal kedalam. Dengan mempelajari ketiganya maka akan kuatlah Iman, Islam dan Ihsan kita yang merupakan kesempurnaan dalam Islam, sebagai wujud mempelajari Ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawwuf.
Cintanya orang orang-orang Sufi terhadap Tuhan, bagi mereka adalah suatu kenikmatan tersendiri dalam bertasawwuf, cara ini mampu membersihkan jiwa akan penyakit-penyakit hati (bathiniyah). Tapi penyelewengan dalam dunia Sufi pun dapat saja terjadi seperti halnya al-Hallaj yang mengakuinya dirinya sebagai Allah, dengan teorinya wahdat al-wujud atau pantheisme (Penyatuan Wujud) dan teori al-Hulul atau penitisan (Penjelmaan Tuhan dalam diri Manusia). Perkataan dan perbuatan al-Hallaj ini membuat marah para ahli Kalam (Tauhid), Fiqh dan masyarakat Islam, sehingga ia di hukum mati pada tahun 309 H. Di Indonesia dulu terjadi penyimpangan oleh seorang Waliyullah yaitu Syeikh Siti Jennar yang mirip dengan teori al-Hallaj, ia di hukum mati oleh mahkamah para Wali di Jawa. Namun hanya Allah-lah Yang Maha Tahu akan maksud dan hati seseorang.
**
Keunggulan umat Islam salah satunya adalah Ilmu Tasawwuf ini. Dengan bertasawwuf yang merupakan suatu kekuatan batin untuk mempertebal iman, tauhid, ladang amal, pembersih jiwa, serta untuk memperkuat Ihsan suatu cara untuk lebih mengenal Allah dan mencari keridloan-Nya semata maka secara otomatis akan meningkatkan akhlakul kariimah (Akhlak yang Mulia).
Menurut Prof. DR. Hamka bahwa: "Tasawwuf Islam telah timbul sejak timbulnya Agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad Saw. Disauk airnya dari Qur'an sendiri". (Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad). Adapun ciri dari Sufi menurut Imam Nawawi (620-676 H/1223-1278 M) dalam suratnya al-Maqasid at-Tawhid ada lima ciri jalan sufi atau bertasawwuf yaitu: (1) menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri, (2) mengikuti Sunah Rasullaah Saw. dengan perbuatan dan kata, (3) menghindari ketergantungan kepada orang lain, (4) bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, (5) selalu merujuk masalah kepada Allah swt.
Oleh Karena itu Ilmu Tasawwuf khususnya di Indonesia haruslah mendapat perhatian penuh dari para alim ulama, sarjana, dan para cendekiawan muslim lainnya untuk dapat penyelidikan dan pengupasan secara luas dalam bidang Tasawwuf, untuk menciptakan mental yang Islami dan pemahaman spriritual dalam Islam untuk menjauhkan dari sifat-sifat tercela dan munafik. Sekali lagi bahwa Islam adalah agama Rahmatan lil'aalamiin.******
*) Penulis adalah Alumni Universitas Langlangbuana Bandung (Yayasan Brata Bhakti POLRI Jawa Barat).