Amazon Books

Minggu, 28 Juni 2015

Jalan Sufi

Apakah gagasan Sufi itu, bagaimana hal itu diungkapkan, di mana kita mencarinya?
Banyak gagasan-gagasan yang dapat dengan mudah kita identifikasi berasal dari kaum Sufi karena konteks dan atribusi aktual di dalam teks mereka. Tetapi problem khusus di balik ini adalah fakta, bahwa tidak ada catatan tentang bentuk pemikiran lain atau sistem yang tersebar begitu luas dan jauh ke berbagai bidang kehidupan serta pemikiran, di Timur maupun Barat. Tidak ada yang mengharap dilatih untuk hal-hal semacam itu, kecuali kaum Sufi, yang tidak membutuhkan material (hal-hal yang bersifat duniawi). Sebagai konsekuensi, kita mendapat pertanyaan: apakah Sufisme suatu rangkaian dari pemujaan shamanistik, sebuah filsafat, agama, masyarakat rahasia (terasing), dan sistem pelatihan ilmu gaib, kecenderungan utama aliran kesusastraan dan puisi, atau sistem militer, keksatriaan, atau barangkali suatu cara pemujaan komersial?
Problem serius adalah dalam menempatkan gagasan  dan praktek-praktek Sufi yang ada secara murni dan relevan, juga bagi seorang siswa (murid) yang sudah menemui pencairan, generalisasi atau penggalan dari bermacam-macam Sufisme, baik di Timur maupun Barat. Ada ratusan orang di Eropa dan Amerika yang mempraktekkan 'tarian darwis, berputar atau melingkar' meski faktanya hal itu tercatat dalam literatur darwis55 yang mudah diterima, bahwa kegiatan ini secara khusus 'ditentukan', untuk alasan-alasan lokal, oleh Ar-Rumi bagi masyarakat Asia Kecil di wilayah Iconium.56 Dalam cara yang sama, ketika semua itu terpengaruh oleh 'kerja' atau 'sistem' Barat yang berusaha mengikuti Gurdjieff dan Ouspensky --jumlahnya ribuan-- secara jujur dikatakan bahwa latihan dan metode mereka dikenal dan diterapkan dengan baik di tarekat-tarekat Sufi tertentu, tetapi bahwa mereka menggunakan suatu cara yang berbeda dan sikap yang lebih diterima akal berkaitan dengan masyarakat yang terlibat, mereka --lebih sering-- tidak mampu menerima statemen ini. Keuntungan bagi kaum Sufi dalam kasus-kasus serupa ini, mulai berlimpah karena kesalahpahaman atau kesalahan dalam terapan. Fenomena lain, yang hingga kini terus tumbuh secara pesat, memanfaatkan beberapa gagasan dan praktek-praktek Sufi, dikenal oleh ribuan orang di Barat sebagai 'Subud'. Prosedurnya adalah terutama didasarkan pada metode-metode Naqsyabandiyah-Qadiriyah,57 tetapi pada presentasinya sekarang sudah terbalik. Dalam pertemuan Subud dinamakan Latihan,58 para anggotanya menantikan pengalaman-pengalaman khusus, yang diyakini sebagai Kehendak Tuhan di dalamnya. Sebagian berpura-pura, sebagian benar-benar secara mendalam, sebagian tidak keduanya. Hal menarik di sini adalah bahwa sikap Subud dalam menilai sebuah pengalaman, dan sebagian yang tidak berpura-pura atau yang berhenti merasakan ikut-ikutan memasukinya, akan berlalu. Sisanya adalah pendukung pergerakan. Tetapi, menurut gagasan dan praktek-praktek Sufi dengan benar adalah, mereka yang tidak merasakan keadaan subyektif, atau yang pada suatu saat telah terpengaruh oleh keadaan itu, kemudian tidak lagi merasakannya, adalah para calon yang sebenarnya untuk tahap (tingkat) berikutnya.59 Bagi kaum Sufi, orang yang tidak memahami hal ini, mungkin seperti orang yang mencoba melatih otot-ototnya, berpikir bahwa latihan tidaklah bagus karena ia tidak lagi merasa kekakuan (kejang-kejang) pada anggota badannya. Keuntungan Subud impas, setidaknya sebagian, dengan kerugian-kerugian tersebut

Inilah persoalan yang sesungguhnya dalam upaya mempelajari gagasan-gagasan Sufi yang asli, melalui popularisasi semacam itu. Selama pembalikan ini telah menuntut terminologi Sufi, para murid mungkin tidak akan dapat menanggalkan (ikatan) perkumpulan Subud ketika ia mendekati Sufisme.
Namun problem lainnya, benar-benar karakteristik Sufi, menimbulkan pertentangan besar. Barangkali hal ini dapat ditegaskan dengan mengatakan, bahwa literatur Sufi mengandung banyak materi yang lebih maju dari zamannya. Buku Sufi tertentu, sebagian diterjemahkan dalam bahasa Barat dan merupakan bahan yang dapat dibuktikan, mengandung materi yang tampaknya menjadi komprehensif hanya jika penemuan-penemuan psikologi 'baru' dan teknik ilmiah dapat dibuat serta dikenal dengan baik. Sebuah pembuktian dari pernyataan-pernyataan yang semula tampak ganjil dan mustahil, kemudian ternyata menjadi mungkin. Para Orientalis Barat dan lainnya mencatat, misalnya, bahwa Jalaluddin ar-Rumi dari Afghanistan (wafat 1273),60 Hakim Sanai dari Khurasan (abad ke-14),61 al-Ghazali dari Persia (wafat 1111),62 dan Ibnu al-Arabi dari Spanyol (wafat 1240),63 berbicara mengenai hal-hal yang berhubungan dengan psikologi, teori-teori psikologi dan prosedur psikoterapi, yang tidak akan dapat dipahami oleh pembaca tanpa 'infrastruktur' kontemporer yang diperoleh belakangan di Barat. Konsekuensinya, pemikiran-pemikiran tersebut dinamakan atau disebut 'Freudian', 'Jungian' dan sebagainya.
Sufi menyatakan bahwa 'manusia bangkit dari lautan', dan ia berada dalam kondisi evolusi, menempuh periode waktu yang hebat, merupakan omong kosong yang aneh sampai abad kesembilanbelas ketika kaum darwis menggunakan materi ini dengan senang hati.64
Sudah sering disebutkan bahwa kekuatan terkandung dalam atom,65 pada 'dimensi keempat',66 pada relativitas,67 perjalanan ruang angkasa,68 telepati; telekinetis. Kadang hal tersebut diperlakukan sebagai fakta, kadang menunjuk pada teknis, kadang sebagai kapasitas, kekinian dan masa depan manusia. Sejumlah kesadaran prakognitif dan fenomena lain yang sejenis, dinilai hanya dalam cahaya pengetahuan yang agak modern, atau masih menunggu pembuktian oleh para ilmuwan konvensional. Lebih dari tujuhratus tahun yang lalu, Ibnu al-Arabi menegaskan bahwa pemikiran manusia berusia empatpuluh ribu tahun, sementara orang-orang Yahudi Ortodoks, Kristen dan Islam percaya masih menjalani 'perjanjian' atau 'penentuan waktu' skriptural dari sang Pencipta hanya pada empat sampai enamribu tahun sebelumnya. Beberapa riset terakhir, menentukan manusia 'modern' berusia sekitar tigapuluhlima ribu tahun.69
Beberapa olok-olok paling kuat, masih tetap ditujukan dalam beberapa lingkaran (kalangan) di mana kaum Sufi menjadi subyek, adalah berhubung dengan penekanan klasik mereka, bahwa dari obsesi-obsesi yang sudah tertanam di masyarakat, dan penjelasan mereka yang bersifat tidak menyenangkan mengenai indoktrinasi dan emosi yang telah dikacaukan dengan karunia spiritual, oleh orang-orang yang sangat antusias terhadap agama (religius) yang mengerikan. Hanya dalam beberapa dekade lalu, terdapat orang-orang yang dapat memahami lebih baik daripada para pendeta.70
Problem khusus kedua adalah, kendati para ilmuwan benar-benar menanti pembuktian materi tersebut, atau mencoba menyelidikinya, kaum okultis yang mudah tertipu akan mengerumuni kaum Sufi yang mengatakan hal-hal tersebut sebagai diambil (berasal) dari Sufisme, mereka akan meminta dengan segera atau mendesak, mulai dari hak, pengetahuan yang berhubungan dengan magis, pengendalian-diri, kesadaran yang lebih tinggi, rahasia-rahasia tersembunyi dan sebagainya.

Bagi kaum Sufi, orang-orang yang percaya dan kadang tidak seinibang ini, dapat lebih merupakan suatu masalah daripada orang-orang skeptis. Para penganut ini menciptakan persoalan yang lebih jauh, karena suka akan pengetahuan magis yang mudah, mereka mungkin dengan segera akan beralih kepada organisasi-organisasi tersebut (dengan maksud baik dan selainnya) yang tampaknya dapat memuaskan kehausan mereka akan hal-hal yang tidak dipahami atau tidak wajar; atau mencoba 'jalan pintas'. Tidak dapat disangkal kalau kita menggunakan ungkapan ini --tetapi selalu dengan kualifikasi-kualifikasi: 'Seorang ahli, bagaimanapun, menemukan atau merencanakan jalan pintas menuju pencapaian pengetahuan Tuhan. Ada banyak jalan menuju Tuhan, sebanyak jiwa manusia'.71 Beberapa perkumpulan seperti itu terdapat di Inggris dan Amerika. Jika Anda menulis untuk literatur mengenai salah satu dari perkumpulan tersebut, Anda akan mendapat suatu publikasi yang menyatakan bahwa kaum Sufi lebih suka diet vegetarian dan para murid tersebut pastilah 'bebas dari kasta, warna (kulit) dan keyakinan', sebelum mengembangkan 'kekuatan-kekuatan gaib'.
Gerakan lain, menggunakan nama Sufi, mengidolakan para pendiri mereka, memberi anggota semacam upacara inter-religi. Lebih dari satu praktek-praktek resital musik, dimaksudkan untuk mengharuskan para pencari menggerak-gerakkan anggota badan menuju suatu kegembiraan yang bermanfaat --pengganti fakta bahwa ajaran Sufi yang dicatat secara luas, kalau musik dapat membahayakan72 dan bahwa itulah yang diajarkan, bukan guru, yang merupakan pokok dari Sufisme. Manfaat dari informasi Sufi, sekali lagi seimbang dengan kerugian dari praktek yang salah dan pilihan bacaan yang telah bias (menyimpang).
Imigrasi bangsa-bangsa Asia --Arab (terutama dari Aden dan negara Somalia), India dan Pakistan-- ke Inggris telah memperkenalkan 'Sufisme' dalam bentuk lain. Ini mengelilingi kelompok-kelompok keagamaan Islam fanatik yang beyang berkumpul sembahyang bersama (berjama'ah), yang menstimulasi mereka secara emosional dan kadang memberi pengaruh katarsis. Menggunakan terminologi dan kesamaan organisasi Sufi, yang memiliki cabang di banyak kota-kota industri dan kota-kota pelabuhan di Inggris.
Persoalannya di sini bukan sekadar bahwa banyak para partisipan saat ini tidak dapat mempelajari gagasan-gagasan Sufi (sejak mereka percaya kalau mereka sudah mengetahuinya), tetapi bahwa siapa pun --sosiolog, antropolog atau anggota masyarakat biasa-- tidak selalu tahu, bahwa hal tersebut tidak mewakili Sufisme, lebih mewakili penaklukan ular dalam agama Kristen, atau permainan matematika 'Bingo'. Manfaatnya, sekali lagi, ada pada level rendah; kerugiannya tidak sedikit.

Seperti pertemuan mereka yang terindoktrinasi, ke seluruh dunia Islam dari Maroko sampai Jawa, mereka ini seringkali merupakan kelompok-kelompok fanatik yang menggunakan bentuk Sufi. Sebagian, jelas histeris. Lainnya tidak pernah mendengar Sufisme dalam bentuk lain.73 Bagi mereka, pernyataan-pernyataan seperti dilontarkan Ibnu al-Arabi --"Malaikat adalah kekuatan yang tersembunyi di dalam pancaindera dan organ manusia" akan tampak menghujat-- dan mereka masih memuja Ibnu al-Arabi!74
Bukan hal yang mustahil jika entitas ini (melalui antusiasme semata, penyebaran uang yang efisien dan jalan lain menuju metode publikasi-massa modern) secara umum akan dianggap oleh pengamat sebagai Sufi yang sesungguhnya (sejati) atau mewakili gagasan Sufi. Barangkali ada benarnya mengatakan bahwa agama adalah masalah sangat (terlalu) penting, untuk diserahkan kepada para intelektual spekulatif yang tidak ahli dan kepada pendeta. Kecenderungan berikutnya, 'memperjuangkan' aktikitas keimanan. Ini kesalahan kuno. Al-Ghazali pernah diyakini di Barat sebagai teolog Katholik Abad Pertengahan. 'St Jehosaphat' telah ditunjuk sebagai Budha, dan 'St Charalambos' dari Yunani dinyatakan tidak lain dari guru darwis, Haji Bektash Wali, yang mendirikan aliran Bektash.75 Pendeta Kristen abad kelimabelas, Therapion, adalah penyair, darwis Turabi.

Perkembangan-perkembangan seperti itu sudah terlihat di negara-negara Timur, dimana pengikutnya, seringkali berkarakter cukup menyenangkan, menghormati kaum Sufi, mempertahankan bahwa kekunoan mereka adalah Sufisme yang sebenarnya. Pada gilirannya, ini merupakan problem yang menjengkelkan dan tidak dikenal secara luas oleh orang-orang Barat yang tertarik pada warisan Sufi. Dihadapi dengan penerimaan atau penolakan, meyakinkan bahwa hal itu pasti Sufisme karena begitu banyak orang yang secara lokal menganggap demikian, sejumlah murid bereaksi secara serentak atau total, penerimaan tanpa kritik. Di Inggris, untuk tidak membicarakan negara Barat lain, terdapat contoh: 'sindrom konversi Sufi' --kadang dalam kasus person yang tidak berhubungan, siap dicetak untuk 'bukti' bahwa cara pemujaan ini, sebagaimana yang mereka lihat diantara penganut ekstasi, merupakan sesuatu yang diterima di Barat.77
Hal itu dapat memberi sensasi yang luar biasa, membandingkan keadaan ini dengan situasi hipotesis suatu wilayah yang belum berkembang dimana gagasan-gagasan maju sudah merembes, tetapi --melalui informasi yang kurang akurat dan kurang sistemik-- telah diadopsi oleh penduduk setempat dengan sikap yang dangkal dan tidak menguntungkan. Diantara komunitas yang belum berkembang, salah satunya tertarik untuk berpikir dalam istilah 'Cargo Cult',78 dimana para anggotanya membuat replika pesawat terbang dari kaleng, diyakini bahwa benda-benda tersebut secara magis menghasilkan suplai barang-barang bagus dari langit.79
Dan ternyata di sana masih kekurangan informasi dasar gagasan-gagasan Sufi. Memang ada, tetapi kebanyakan tidak dipelajari dan diterima oleh mereka yang dapat melakukannya. Muncul persoalan khas yang lain lagi; masalah yang disebabkan oleh tempat-tempat di mana materi ini muncul.
Kebanyakan materi-materi Sufisme dan kaum Sufi, sebagaimana merupakan hasil dari observasi yang mengagumkan, penelitian dan kerja lapangan di Asia, Afrika dan Eropa, muncul di media massa dari waktu ke waktu. Tetapi karena karya itu tidak selalu dihasilkan oleh para 'spesialis kenamaan', atau karena ditulis atau muncul di media massa koran, jelas tidak dianggap ditulis oleh orang yang berwenang di 'bidang'nya, maka materi itu hilang.

Berikut beberapa contoh baru:

Dua artikel brilian dalam Blackwood's Magazine80 tahun 1961 dan 1962. O. M. Burke menjelaskan gagasan dan praktek Sufi di Pakistan, Tunisia, Maroko dan sebagainya. Secara garis besar, ia menguraikan teori dan latihan-latihan Sufi yang diketahui dengan baik dalam praktek-praktek Sufi, tetapi secara harfiah tidak selalu terwakili dengan jelas di dalam literatur. Tahun 1961, sebuah koran Delhi81 menulis laporan yang bagus tentang keyakinan dan deliberasi Sufi di Paris. Dalam sebuah jurnal keilmuan tahun 1962, terdapat kontribusi penting oleh seorang dokter Mesir dengan menggambarkan pemikiran serta prosedur psikoterapi komunitas darwis di Asia Tengah dan cabang-cabang internasionalnya. Tidak satu pun dari materi ini akan dikutip dalam literatur para Orientalis atau bahkan para Okultis.
Tampaknya belum ada kutipan yang diambil dari artikel penting, tulisan orang lain yang berhubungan dengan kehidupan, tradisi lisan tentang 'ajaran rahasia' di Timur Tengah maupun Timur Jauh, yang dipublikasikan pada tahun 1960 dalam Contemporary Review.83 Hasrat untuk menyebarkan gagasan dan praktek Sufi serta sikap-sikap khusus yang memang sudah berjalan ini, dan juga peragaan-peragaan simbolis dari gagasan-gagasan Sufi dijalankan dalam sebuah komunitas Hindu-Kush yang luas, serta mempunyai cabang di Eropa, hal ini memberikan dokumen utama lagi. Karena, tidak diragukan lagi, telah dipublikasikan dalam Lady84 sebuah majalah mingguan wanita, yang dapat dipertimbangkan sebagai sumber riset.85
Seorang koresponden The Times,86 tahun 1964 menulis dengan tegas sejumlah gagasan dan praktek-praktek di Afghanistan, serta penyebarannya di dunia Arab. Tampaknya tidak mungkin kalau laporan yang sangat berarti ini akan pernah merupakan atau menjadi bentuk sebagian dari literatur formal Sufisme. Sebuah artikel dalam She tahun 1963, dan lainnya tahun 1965,87 berisi setidaknya beberapa materi tentang fakta paling menarik dan tidak tercatat sebelumnya.



Sabtu, 27 Juni 2015

Mengapa kita harus berdoa?

"Saya tak bisa bahasa Arab, saya malu memimpin do'a selepas sholat jama'ah bersama isteri saya, apalagi didepan jama'ah yang lain."

Pernahkah pengalaman ini menimpa kita? Insya Allah tidak. Tapi andaikata pernah, janganlah khawatir. Sungguh Allah itu mengerti segala macam bahasa. Jangan malu untuk berdo'a dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Kalau anda hapal do'a dalam bahasa arab, saya ucapkan alhamdulillah! Namun kalau anda lebih "sreg" berdo'a dengan bahasa selain bahasa Arab, saya pun berucap alhamdulillah! Yang terpenting adalah kita masih mau berdo'a. Kalimat terakhir ini mengundang pertanyaan, "Mengapa sih kita harus berdo'a?"
Allah adalah Tuhan kita satu-satunya. Allah pun dalam Al-Qur'an mengatakan bahwa "Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu" (QS 112:2). Dalam surat al-Fatihah kita pun berseru, "Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in" (Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan). Karena itu, kalau ada orang yang mengaku bahwa Allah itu Tuhannya lalu ia tak mau berdo'a maka pantas kalau kita sebut orang tersebut orang sombong. Bukankah Allah telah berfirman, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu" (QS 40:60).
Betulkah setiap do'a akan dikabulkan oleh Allah? Boleh jadi ada diantara kita yang telah berdo'a sesuatu namun tak kita rasakan hasil dari do'a tersebut. Pertama, harus disadari bahwa kita ini "hamba" sehingga tak berhak memaksa Allah. Kita yang membutuhkan Allah; bukan sebaliknya.

Kedua, Allah lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Boleh jadi, sebuah do'a yang kita minta bila dikabulkan oleh Allah justru ujung-ujungnya dapat menimbulkan kesulitan dalam hidup kita atau mungkin Allah punya ketentuan lain yang tak kita ketahui. Sebagai contoh, Nabi Nuh berdo'a agar anaknya diselamatkan dari banjir dahsyat, Tuhan tidak mengabulkannya dan bahkan menegur Nabi Nuh sehingga Nabi Nuh pun berdo'a: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakekatnya) dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang rugi." (QS 11: 47) Allah Maha Tahu, maka do'a kita kadang kala bukan tak dikabulkan tapi ditunda waktunya, atau malah diganti dengan yang lebih baik. Wa Allahu A'lam.

Ketiga, sudah seberapa jauh usaha kita untuk "meminta" dan "memelas" pada Allah. Nabi Zakariya sendiri telah puluhan tahun berdo'a namun belum dikabulkan Allah. Tapi berbeda dengan kita yang cenderung tak sabar, Nabi Zakariya berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku." (QS 19:4)

Begitulah sikap kita seharusnya: jangan pernah kecewa dalam berdo'a. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa "Aku ini bagaimana persangkaan hambaKu saja..." Maksudnya, kalau kita dalam berdo'a belum-belum sudah beranggapan bahwa do'a ini tak akan dikabulkan, yah begitulah jadinya. Insya Allah kita selalu berbaik sangka dan tak pernah kecewa dalam berdo'a.

Dalam berdo'a kita diminta untuk berharap-harap cemas (QS 21:90). Artinya, kita berharap do'a kita akan dikabulkan, namun disisi lain kita juga cemas kalau-kalau do'a ini tidak dikabulkan. Gabungan perasaan inilah yang menjadi etika dalam berdo'a. Kita tidak terlalu yakin pasti akan dikabulkan, namun juga tidak putus asa. Etika lainnya adalah kita disuruh berdo'a dengan merendahkan diri dan dengan suara yang lembut (QS 7:55). Kalau kita jalani etika berdo'a ini insya Allah hati kita akan tergetar dan seringkali tanpa sadar air mata menggantung di pelopak mata.

Pendek kata, berdo'alah baik dalam keadaan sehat-sakit, suka-duka, kaya-miskin, berdiri-duduk-berbaring, pagi-siang-malam...
*** Nadirsyah Hosen ***


Umar bin Khatab pun menangis

Bagi yang pernah membaca riwayat Umar bin Khatab semua orang akan sepakat Umar adalah sosok pemberani, adil dan tegas dalam mengambil keputusan. Tetapi, pernahkah anda  mendengar dalam riwayat  Umar bin Khatab menangis? Umar bin Khatab terkenal gagah perkasa sehingga disegani lawan maupun kawan. Bahkan konon, dalam satu riwayat, Nabi menyebutkan kalau Syeitan pun amat segan dengan Umar sehingga kalau Umar lewat di suatu jalan, maka Syeitan pun menghindar lewat jalan yang lain. Terlepas dari kebenaran riwayat terakhir ini, yang jelas keperkasaan Umar sudah menjadi buah bibir di kalangan umat Islam. Karena itu kalau Umar sampai menangis tentulah itu menjadi peristiwa yang menakjubkan.

Mengapa "singa padang pasir" ini sampai menangis?


Umar pernah meminta izin menemui rasulullah kerumah beliau dan masuk kedalam rumah rasululah. Ia mendapatkan beliau sedang berbaring di atas tikar yang sangat kasar. Sebagian tubuh beliau berada di atas tanah. Beliau hanya berbantal pelepah kurma yang keras. Aku ucapkan salam kepadanya dan duduk di dekatnya. Aku tidak sanggup menahan tangisku. Rasul yang mulia bertanya, "mengapa engkau menangis ya Umar?" Umar menjawab, "bagaimana aku tidak menangis. Tikar ini telah menimbulkan bekas pada tubuh engkau, padahal Engkau ini Nabi Allah dan kekasih-Nya. Kekayaanmu hanya yang aku lihat sekarang ini. Sedangkan Kisra dan kaisar duduk di singgasana emas dan berbantalkan sutera".
Nabi berkata, " "mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga; sebuah kesenangan yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang yang bepergian pada musim panas. Ia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian berangkat dan meninggalkannya." Indah nian perumpamaan Nabi akan hubungan beliau dengan dunia ini. Dunia ini hanyalah tempat pemberhentian sementara; hanyalah tempat berteduh sejenak, untuk kemudian kita meneruskan perjalanan yang sesungguhnya.

Ketika anda pergi ke Belanda, biasanya pesawat akan transit di Singapura. Atau anda pulang dari Saudi Arabia, biasanya pesawat anda mampir sejenak di Abu Dhabi. Anggap saja tempat transit itu, Singapura dan Abu Dhabi, merupakan dunia ini. Apakah ketika transit anda akan habiskan segala perbekalan anda? Apakah anda akan selamanya tinggal di tempat transit itu? Ketika anda sibuk shopping ternyata pesawat telah memanggil anda untuk segera meneruskan perjalanan anda. Ketika anda sedang terlena dan sibuk dengan dunia ini, tiba-tiba Allah memanggil anda pulang kembali ke sisi-Nya. Perbekalan anda sudah habis, tangan anda penuh dengan bungkusan dosa anda, lalu apa yang akan anda bawa nanti di padang Mahsyar.

Sisakan kesenangan anda di dunia ini untuk bekal anda di akherat. Dalam tujuh hari seminggu, mengapa tak anda tahan segala nafsu, rasa lapar ddan rasa haus paling tidak dua hari dalam seminggu. Lakukan ibadah puasa senin-kamis. Dalam dua puluh empat jam sehari, mengapa tak anda sisakan waktu barang satu-dua jam untuk sholat dan membaca al-Qur'an. Delapan jam waktu tidur kita....mengapa tak kita buang 15 menit saja untuk sholat tahajud. "Celupkan tanganmu ke dalam lautan," saran Nabi ketika ada sahabat yang bertanya tentang perbedaan dunia dan akherat, "air yang ada di jarimu itulah dunia, sedangkan sisanya adalah akherat"

Bersiaplah, untuk menyelam di "lautan akherat". 
Nadirsyah Hosensen ***