Allah Swt berfirman: "Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", atau
agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua
kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami
ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka.
Maka, apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan
orang-orang yang sesat dahulu" (QS. Al A'raf: 172-173)
Ayat di atas dengan jelas mendeklarasikan, seluruh
manusia pernah melihat dan berjumpa dengan Allah Swt. Bahkan
berbicara kepada-Nya secara langsung. Pengalaman ini
tertanam dalam sisi terdalam jiwa manusia, fitrah. Semuanya
telah terpatri (built in) dalam bangunan diri setiap
manusia, siapapun dia. Oleh karena itu, jika manusia di
dunia ditanyakan siapa yang telah menciptakan langit dan
bumi ini, secara spontan, sisi terdalam jiwa mereka itu akan
menjawab: "Allah".
Dalam Al Quran, Allah Swt berfirman: "Dan sesungguhnya
jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah" (QS.
Luqman: 25). Keindahan kebersamaan dan perjumpaan itu
menjadi sesuatu yang terus mendorong mereka yang
dianugerahkan berhati bersih, atau mereka yang kemudian
dibukakan hatinya, untuk menggapainya kembali. Manusia, di
dunia ini, berada dalam perpisahan sementara dan amat
singkat, untuk kemudian kembali menghadap kepada-Nya. Atau
dalam sabda Rasulullah Saw diungkapkan: Manusia di dunia ini
tertidur, dan jika mati mereka baru terjaga. Tentang
perjumpaan pada kesempatan pertama itu, Imam Abul 'Azaim
bersenandung:
Sejak jaman "alastu" kami tak pernah melupakan *
percakapan dan keindahan "Sang Indah" Gemerlapan. (Seperti
dikutip oleh Syeikh Muhammad Ali Salamah, Ayyamullah, Cet.
Strand al Haditsah, Cairo, 1985, hal. 17.)
Imam Ali k.w. pernah ditanya: Wahai amirul mu'minin,
apakah Anda mengingat hari alastu birabbikum? Ia menjawab:
"Ya, aku masih mengingatnya, dan aku mengingat siapa yang
berada di samping kanan dan samping kiriku"!.
Pada suatu halaqah yang diadakan Al Muhasiby, seseorang
bersenandung:
- "Di negeri asing, ku tenggelam dalam tangisan
- Seperti perantau yang kesepian
- Dan kini ku menyadari
- Sebaiknya, negeriku tak ku tinggalkan
- Mengapa ku tinggalkan Tempat Sang Kekasih berada" (1)
Mendengar itu, Al Muhasiby segera berdiri dan terisak
menangis, merindukan kampung halamannya yang abadi, yang
disaksikan pada hari "alastu" itu.
Perjumpaan selanjutnya dengan Allah Swt akan terjadi
dalam bentuk yang amat lain. Yaitu akan diikuti dengan
perhitungan perbuatan selama perjalanan singkat di dunia
ini. Apakah seseorang tetap ingat terhadap janjinya, atau
malah kemudian dikalahkan sisi gelap dirinya: Nafsu yang
melenakan dan melupakan serta selalu mengajak kepada
keburukan; "Nafsu ammarah bissu". Hanya orang-orang yang
selamat dari godaan itu dan membersihkan hatinya yang berhak
kembali dengan selamat dan menikmati keindahan dan
kebahagiaan yang pernah dirasakan itu. Dan Allah Swt akan
menyambutkan dengan segala penyambutan: "Hai jiwa yang
tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku" (QS. Al Fajr: 28-30).
Untuk melakukan perjalanan sementara itu, Allah Swt tidak
membiarkan manusia dalam kebutaan dan kegelapan, tanpa
petunjuk jalan dan orang yang menuntun mereka. Allah SWT
mengutus para Nabi dan Rasul untuk melakukan tugas itu.
Memberikan tuntunan kepada manusia agar dapat kembali dengan
selamat, menuju kampung halaman mereka. Hal itu berkali-kali
telah diungkapkan oleh Al Quran, dan oleh Rasulullah Saw;
telah diutus sebelum beliau nabi-nabi dan rasul-rasul untuk
melakukan tugas itu (2), meskipun dengan syari'ah yang
berbeda (QS. Al Maidah: 48), namun untuk tujuan yang sama
(QS. An Nahl: 36). Para rasul adalah cahaya yang memancar
bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah Swt (3,4).
Mercu suar bagi manusia, sehingga mereka tidak tersesat
mengarungi lautan hidup ini. Dan menerangi hati mereka,
sehingga hati mereka bersih, suci dan mencapai alam malakut.
Melepaskan diri dari kebinatangan mereka, untuk menuju sifat
fithrah mereka yang mulia. Makhluk yang mendapatkan percikan
cahaya ruh dari Allah SWT (5).
Allah SWT berfirman tentang pengutusan Rasulullah Saw:
"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul
dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan
kepada mereka Al Kitab, Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata" (QS. Ali 'Imran: 164)
Dalam ayat di atas, secara eksplisit diungkapkan, selain
menyampaikan ayat-ayat Allah, mengajarkan Al Kitab dan Al
Hikmah, beliau juga diutus untuk membersihkan jiwa manusia.
Mensucikan ruh mereka kembali dari debu kemusyrikan,
kekerasan hati, penyakit-penyakit ruhani dan sebagainya.
Dengan sukses, tugas itu beliau laksanakan, sehingga merubah
orang-orang Arab yang keras dan paganis, menjadi
sahabat-sahabat beliau yang Rabbani. Membentuk sebuah
masyarakat yang --meminjam istilah Akbar S. Ahmad --ideal.
Mencetak tokoh-tokoh seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali
k.w. Dengan ciri-ciri antara lain, keadilan Umar yang tiada
tara, sifat pemalu Utsman, kecerdasan Ali yang demikian
rupa, kezuhudan Abu Dzar yang tanpa tanding, keluasan ilmu
pengetahuan Mu'adz dan seterusnya(6). Malah, lebih jauh
lagi, mereka mampu mencapai derajat-derajat yang telah
dicapai oleh nabi-nabi dari Bani Israil, kecuali tidak ada
kenabian setelah Nabi Saw. Rasulullah Saw. bersabda:
"Sahabat-sahabatku seperti nabi-nabi Bani Israil"!. Hal ini,
dalam sebuah sya'ir diungkapkan:
"Dahulu kami hanyalah orang-orang bodoh nan
hina-dina, dengan bimbingan Thaha (Saw), kami menjadi
tokoh-tokoh mulia" (7)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda: "Kami para
nabi-nabi tidak mewariskan apa-apa"(8). Dan pada hadits yang
lain, Rasulullah Saw bersabda pula: "para ulama adalah
pewaris nabi-nabi" (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud,
Tirmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dalam sahihnya dari
hadits Abi Darda). Menyaksikan dua hadits ini, seakan ada
kontradiksi dalam dua sabda beliau itu. Namun, jika kita
teliti lebih mendalam, kita temukan sebuah pengertian; para
nabi tidak mewarisi harta duniawi, tetapi mereka mewarisi
risalah kenabian, dan para ulama-lah para pewaris itu.
Rasulullah Saw. telah mencetak sahabat-sahabat beliau
sebagai pemegang warisan risalah itu. Sehingga, ketika
beliau meninggalkan dunia ini, menuju kampung halaman yang
abadi di sisi Allah SWT, telah terbina sahabat-sahabat yang
handal, dan menguasai tugas sebagai penyambung risalah itu,
yaitu menyebarkan ilmu pengetahuan dan cahaya Ilahiyah. Ciri
pengetahuan mereka amat khas, yaitu penguasaan literer
dengan baik terhadap nash-nash yang ditinggalkan oleh
Rasulullah Saw. serta kehalusan ruhani yang tinggi pula.
Misalnya, tentang Abu Bakar r.a. Rasulullah Saw bersabda,
keutamaan Abu Bakar r.a. bukanlah karena banyaknya puasa
yang ia lakukan, juga bukan karena banyaknya salat,
meriwayatkan hadits, berfatwa atau berbicara, namun karena
sesuatu yang tertanam dalam hatinya (Hadits diriwayatkan
oleh Tirmizi Al Hakim dalam Nawadir dari perkataan Abi Bakar
bin Abdillah al Mazini. Tetapi Al Iraqi tidak mendapatkan
redaksi ini sebagai hadits marfu').
Ulama atau fuqaha, pada masa kaum salaf, menurut Al
Ghazali, adalah mereka yang menguasai ilmu-ilmu syari'ah
secara literer, juga mereka yang menguasai ilmu akhirat atau
ruhani(9). Ketika Sa'd bin Ibrahim ditanya: Siapa penduduk
Madinah yang paling faqih? beliau menjawab: "Orang yang
paling bertakwa kepada Allah Swt". Jawaban tersebut
--menurut Al Ghazali--menunjukkan, kefaqihan seseorang
ditentukan oleh pengetahuannya akan ilmu-ilmu akhirat dan
rahasia kedalaman hati, apa yang merusak amal perbuatan,
pengetahuan akan hinanya dunia, keinginan yang menggebu
untuk mencapai akhirat dan mempunyai ketakutan yang tinggi
kepada Allah Swt di dalam hatinya.
Dan hal itu tampak terwujudkan dalam diri fuqaha Islam
generasi pertama, para sahabat, tabi'in dan imam-imam
mazhab. Namun, menurut Al Ghazali, pada masa-masa
selanjutnya, istilah ini berubah menjadi bentuk yang lain.
Hingga hanya terbatas pada masalah-masalah hukum, fatwa dan
kemampuan menghapal pendapat-pendapat tentang suatu masalah
hukum.
Pada perkembangan selanjutnya, terutama ketika fiqih
telah dikodifikasikan dan tidak ada tempat bagi ilmu ruhani
tersebut dalam bab-bab fiqih itu, demikian juga hadits,
tafsir dan ilmu-ilmu lainnya, dan masing-masing ilmu
tersebut telah membentuk suatu konsep keilmuan tersendiri,
maka para ulama yang mempunyai tanggungjawab terhadap
warisan ruhaniah dari Rasulullah Saw tersebut, juga
mengambil kebijaksaan yang sama: membentuk suatu konsep
tersendiri tentang ilmu mereka.
Di kemudian hari, ilmu itu mereka namakan tasawwuf.
Catatan:
1. "Di negeri asing, ku tenggelam dalam tangisan Seperti
perantau yang kesepian Dan kini ku menyadari Sebaiknya,
negeriku tak ku tinggalkan Mengapa ku tinggalkan Tempat Sang
Kekasih berada." Lihat Abi Abdirrahman As-Sulami, Thabaqat
Shufiyah, Mathabi' Sya'b, tahun 1380 H., halaman: 17, dan
Abu Al Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad bin Aly Al Anshary
Asy-Syafi'i al Mashry, (Asy-Sya'rani), Thabaqat al Kubra,
Darul Jail, Bairut, 1408 H/1988M, Juz I, hal. 75.
2. Lihat: QS. Al Baqarah: 87, 253; Ali Imran: 144, 183,
184; An Nisa: 165 dst.
3. Lihat: QS. Al Maidah: 15, dan ayat-ayat sejenisnya..
4. Tentang hal ini, dapat dibaca lebih lanjut pada:
Syeikh Muhammad Madli Abul Aza'im, Islam dinullah wa
fithratuhu 'l lati fathara 'n nasa 'alaiha, Dar Madinah
Munawwarah, cet.II, 1401 H/1980 M, hal. 79 dst.
5. Lihat: QS. Al Hajar: 29, dan ayat-ayat sejenisnya.
6. Lihat: Syekh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Nafahat Min Nur
Al Quran, Juz 1, Strand Al Haditsah, 1994, Cairo, hal:30.
7. "Dahulu kami hanyalah orang-orang bodoh nan hina-dina,
dengan bimbingan Thaha (Saw), kami menjadi tokoh-tokoh
mulia". Lihat catatan di atas.
8. Berdasarkan hadits ini, maka Abu Bakar r.a. tidak
memberikan tanah Fadak kepada Fathimah r.a., karena dengan
demikian berarti, secara otomatis harta Rasulullah Saw
menjadi milik umat.
9. Lihat, Imam Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz
1, Darul Hadits, Cairo,1992, hal. 57
(
Selanjutnya)