Oleh Mustadihisyam
Awal malapetaka dan kehancuran seseorang
terjadi ketika penyakit sombong dan merasa diri paling benar bersemayam
dalam hatinya. Inilah sifat yang melekat pada iblis. Sifat inilah yang
berusaha ditransfer iblis kepada manusia yang bersedia menjadi
sekutunya.
Sifat ini
ditandai dengan ketidaksiapan untuk menerima kebenaran yang datang dari
pihak lain; keengganan melakukan introspeksi (muhasabah); serta sibuk
melihat aib dan kesalahan orang lain tanpa mau melihat aib dan
kekurangan diri sendiri.
Padahal, kebaikan hanya bisa terwujud
manakala seseorang bersikap rendah hati (tawadu); mau menyadari dan
mengakui kekurangan diri; melakukan introspeksi; serta siap menerima
kebenaran dari siapa pun dan dari mana pun. Sikap seperti ini
sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang mulia dari para nabi dan rasul.
Nabi Adam AS dan Siti Hawa saat melakukan
kesalahan dengan melanggar larangan Tuhan, alih-alih sibuk menyalahkan
iblis yang telah menggoda dan memberikan janji dusta, mereka malah
langsung bersimpuh mengakui segala kealpaan seraya berkata,
|
qaalaa rabbanaa zhalamnaa anfusanaa wa-in lam taghfir lanaa watarhamnaa lanakuunanna minaalkhaasiriina |
Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (QS Al-A’raf [7]: 23). |
Demikian pula dengan Nabi Yunus AS saat
berada dalam gelapnya perut ikan di tengah lautan. Ia tidak menyalahkan
siapa pun, kecuali dirinya sendiri, seraya terus bertasbih menyucikan
Tuhan-Nya. Ia berkata,
|
wadzaa alnnuuni idz dzahaba mughaadiban fazhanna an lan naqdira ‘alayhi fanaadaa fiialzhzhulumaati an laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu mina alzhzhaalimiina
|
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Anbiya [21]: 87) |
Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu membaca
istigfar dan meminta ampunan kepada Allah SWT sebagai bentuk kesadaran
yang paling tinggi bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Karena itu, ia
harus selalu melakukan introspeksi. Beliau bersabda, “Wahai, manusia,
bertobatlah dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sebab, aku bertobat sehari
semalam sebanyak seratus kali.” (HR Muslim).
Begitulah sikap arif para nabi yang patut
dijadikan teladan. Mereka tidak merasa diri mereka sudah sempurna,
bersih, dan suci. Allah SWT berfirman,
|
alladziina yajtanibuuna kabaa-ira al-itsmi waalfawaahisya illaa allamama inna rabbaka waasi’ualmaghfirati huwa a’lamu bikum idz ansya-akum mina al-ardhi wa-idz antum ajinnatun fii buthuuni ummahaatikum falaa tuzakkuu anfusakum huwa a’lamu bimani ittaqaa
|
(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa (QS An-Najm [53]: 32) |
Karena itu, daripada mengarahkan telunjuk
kepada orang, lebih baik mengarahkan telunjuk kepada diri sendiri.
Daripada sibuk melihat aib orang, alangkah bijaknya kalau kita sibuk
melihat aib sendiri. Dalam Musnad Anas ibn Malik RA, Nabi SAW bersabda,
“Beruntunglah orang yang sibuk melihat aib dirinya sehingga tidak sibuk
dengan aib orang lain.”
Fudhail bin Ayyad: Takut pada Allah dengan sebenarnya.
Oleh: Mustadihisyam
Seorang anak muda yang dikenal sangat
nakal, tak mengenal jalan kepada Tuhan, bahkan lupa kepada Tuhan
sehingga Tuhan pun melupakan dirinya. Pada suatu malam dari sebuah rumah
tingkat terdengar suara merdu dari seorang perempuan. Dipanjatnya
dinding rumah oleh anak muda itu, didengarkan suaranya dan diintipnya
wajah perempuan itu, sungguh cantik wajahnya !
Tetapi saat
anak muda tertegun melihat wajah cantik itu, dia tafakur mendengar
suaranya, bukan bernyanyi, tetapi perempuan itu membaca Al-Qur’an surat
Al Hadid ayat 16 :
|
alam ya/ni lilladziina aamanuu an takhsya’a quluubuhum lidzikri allaahi wamaa nazala mina alhaqqi walaayakuunuu kaalladziina uutuu alkitaaba min qablu fathaala ‘alayhimu al-amadu faqasat quluubuhum wakatsiirun minhum faasiquuna
|
Luluhlah hati anak muda itu lantaran
merdengar ayat itu, luluh hatinya bukan lagi wajah cantik rupawan yang
mempesona itu dan bukan pula suaranya yang merdu, melainkan isi ayat itu
sendiri.
Pemuda itu lalu pelan-pelan melangkahkan
kakinya turun dari rumah si gadis itu, trenyuh hatinya, seketika itu
timbul perubahan perasaan dalam jiwanya, sikap yang galak menjadi
tertunduk.
Mulai saat itulah anak muda itu mengubah
jalan hidupnya yang awal mulanya tak mau mengenal jalan kepada Tuhan,
lupa kepada Tuhan, lupa diri, menjadi seorang anak muda yang mengabdikan
dirinya kepada Tuhan secara total dan akhirnya menjadi salah seorang
pelopor dari keteguhan Iman di zaman Daulat Abbasiyah.
Dialah Fudhail bin Ayyadh, seorang ahli Shufi dan Zuhud yang terkenal.
|
innamaa almu/minuuna alladziina idzaa dzukira allaahu wajilat quluubuhum wa-idzaa tuliyat ‘alayhimaayaatuhu zaadat-hum iimaanan wa’alaa rabbihim yatawakkaluuna
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar